Optika.id - Indonesia memiliki sejarah kelam dengan komunisme. Ideologi Merah mengingatkan kita bahwa di negara ini pernah terjadi konflik berdarah yang melibatkan anak bangsa. Berbicara komunis, pikiran kita akan langsung teringat sebuah nama, sebuah kelompok yang menjadi pesakitan pasca Supersemar, PKI.
Masih membekas hingga saat ini luka yang diakibatkan peristiwa Gerakan 30 September, ketika Cakrabirawa menghabisi para perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang dituding terlibat Dewan Jendral, mereka dianggap ingin merebut kekuasaan dari tangan presiden Soekarno.
Baca juga: Revolusi Hijau di Jawa, Ketika Pertanian di Modernisasi
Pasukan Cakrabirawa selama ini disebut sebagai underbow Partai Komunis Indonesia, setelah Gerakan 30 September banyak prajuritnya diburu karena pandangan politik secara jelas menyebut mereka sebagai pengkhianat. Selain memliki sayap dari kalangan militer, PKI yang sangat dekat dengat rakyat proletar juga memiliki cabang dan organisasi massa dari golongan lain, sebut saja Gerwani, Pemuda Rakyat, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Penyebaran propaganda komunis untuk khalayak ketika itu disalurkan lewat media surat kabar Harian Rakyat yang menjadi corong utama dari partai palu arit tersebut.
Terlepas dari polemik berdarah di masa lalu, benarkah Komunisme berbahaya?
Kemunculan komunis tidak terlepas dari adanya revolusi industri. Masyarakat Eropa kala itu mengganti cara produksi dari sistem Gilda menjadi Manufaktur. Industrialisasi secara besar-besaran didukung oleh inovasi baru dalam faktor produksi seperti penemuan mesin uap yang bisa dikembangkan menjadi lokomotif, kapal, dan mesin-mesin produksi skala besar. Namun, hal tersebut membuat masyarakat terpolarisasi menjadi dua golongan, Borjuis dan Proletar. Faktor kepemilikan mesin produksi menentukan siapa yang berkuasa. Sehingga golongan lainnya menjadi pesuruh dalam sistem tersebut.
Mereka-lah golongan proletar yang dalam kelas sosial menjadi golongan lapis bawah dengan jumlah yang sangat massive, kesenjangan dalam bidang kesejahteraan sudah tentu ada dan tidak bisa dinafikan. Pemikir besar dari Jerman, Karl Marx dan Friedrich Engels menangkap fenomena tersebut sebagai permasalahan kompleks yang harus dibawa ke dalam sebuah lingkup pemerintahan. Dalam karya yang berjudul Manifest der Kommunistischen yang diterbitkan pada 21 Februari 1848 dimunculkanlah manifesto politik perjuangan kelas, perjuangan untuk kesejahteraan bersama, sebuah sistem komunal, kelompok sosial, untuk mewujudkan masyarakat Utopia.
Kehadiran komunisme dalam pemerintahan pertamakali terjadi di Russia ketika kaum Bolsevik mengambil alih pemerintahan dalam Revolusi Oktober 1917. Lenin dengan visinya yang revolusioner tidak tahan dengan pemerintahan Tsar yang enggan meperhatikan kondisi rakyat. Di tengah perang dunia pertama, Russia menghadapi wabah kelaparan dihantam musim dingin yang ekstrim.
Politisi Rakyat menggerakkan kaum merah dalam revolusi berdarah, mengambil alih pemerintahan Tsar dari tahun 1917 hingga resmi berdiri menjadi Uni Soviet pada tanggal 30 Desember 1922.
Lalu bagaimana dengan perkembangan komunisme di luar Eropa?
Tiongkok, tidak lama setelah Lenin mendirikan Soviet Mao Tse Tung dan kaum petani mendirikan Kung Cang Tang, Partai komunis Tiongkok yang nantinya terlibat konflik dengan Kuo Min Tang, golongan Nasionalis. Bentrokan keduanya memaksa kaum nasionalis di bawah pimpinan Chiang Kai Sek dengan ajaran San Min Cu I terpaksa menyingkir ke Formosa, negara yang kita kenal dengan nama Taiwan saat ini. Setelah konflik tersebut berdirilah poros komunisme petani Republik Rakyat Tiongkok pada tanggal 1 Oktober 1949.
Tidak jauh dari negara tirai bambu, Korea Utara dengan sistem Juche-nya pada tahun 1949 menjadi negara dengan ideologi komunis non-revolusioner. Setelah Kim Il Sung sang pendiri menggabungkan paham komunis dengan sistem diktatorian proto-feodalisme yang sudah ada di Korea sejak dulu.
Cuba, Vietnam, dan Laos mengadopsi sistem komunal sosialis ini karena para pemangku kebijakan di negaranya sangat reaksioner terhadap kaum proletar, dan memanfaatkan kekuasaan untuk menyenangkan pemegang faktor produksi, yang tidak lain mereka itu penguasa pemerintahan. Hingga meletuslah perang saudara yang berhasil dimenangkan orang-orang progresif.
Gerakan ideologi ini di negara manapun disertai peristiwa berdarah.
Di Indonesia sendiri (saat itu Hindia-Belanda), komunisme bisa muncul karena banyak rakyat bekerja sebagai buruh di perusahaan asing ketika itu. Bermula dari Surabaya pada tanggal 14 November 1908 berdiri organisasi Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel yang merupakan serikat buruh kereta api dan trem pertama di Hindia-Belanda.
Pada perkembangannya, organisasi dengan basis massa proletar menyebar ke Semarang, Sumatera Tengah hingga Sumatera Utara. Paham komunal sosialis besar karena kehadiran tokoh-tokoh pembuangan dari Belanda seperti Henk Sneevliet, Adolf Baars dan Tan Malaka.
Pada tahun 1913 berdirilah Indische Socialis Democratiche Verenigning, yang melakukan infiltrasi ke dalam organisasi Sarekat Islam pimpinan Cokroaminoto, infiltrator dengan paham merah ini bernama Semaoen. Hal itu mengakibatkan pecahnya SI menjadi Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah.
Salah satu tokoh Sarekat Islam putih, H. Agus Salim dalam keterangan terbukanya meminta agar Sarekat Islam Merah untuk keluar saja dari Organisasi Sarekat Islam. Pernyataan tersebut dilanjutkan dalam peraturan Disiplin Organisasi. Disambut oleh Sarekat Islam Merah dengan mendirikan PKH, Perserikatan Komunis Hindia pada Mei 1920.
Tidak hanya aktif di Hindia-Belanda, organisasi ini juga aktif dalam pergerakan Komintern di dunia, Semaoen bersama Tan malaka dalam Far Eastern Labor Conference pada awal 1922 berhasil mendapatkan dukungan kaum komunal sosialis dunia untuk PKH. Keberhasilan tersebut membuat kekuatan PKH sangat besar sampai berubah menjadi PKI, Partai Komunis Indonesia pada bulan Juni tahun 1924.
PKI merupakan organisasi paling awal yang secara terang-terangan radikal terhadap Belanda dengan jalan revolusi, berbeda dengan organisasi sebelumnya seperti Indische Partij dan Perhimpunan Indonesia yang bersifat Radikal Pasif.
Baca juga: Tak Hanya Covid-19, Ini Penanganan Penyakit Menular dari Soekarno Hingga Soeharto
Dibawah Kendali Musso dan Alimin, PKI memberontak terdahap pihak kolonial pada tahun 1926 dan tahun 1927, namun gerakan premature ini berhasil di gagalkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Kegagalan tersebut membuat banyak tokoh PKI di buang ke Boven Digoel, dan sebagian lagi berhasil menyelamatkan diri ke Soviet.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, banyak sekali tokoh dengan ideologi kiri yang ikut terlibat dalam pergerakan. Sebut saja Alimin, Musso, Tan Malaka, Amir Syariffuddin, dan DN. Aidit. Walaupun saat ini beberapa diantara mereka dicap sebagai pemberontak bahkan penghianat, tidak bisa dikaburkan bahwa orang-orang ini terlibat aktif dalam mewujudkan kemerdekaan.
DN. Aidit, anak didik Ir. Soekarno sangat dekat bahkan dianggap mewarisi semangat perjuangan dari seniornya tersebut. Mungkin sekarang dalam kurikulum sejarah kita tidak lagi disuguhi peran perjuangan kaum kiri, namun cerita-cerita tentang mereka masih bisa dihadirkan kembali melalui pelaku dan saksi sejarah yang masih hidup.
Menghadirkan fakta empiris tentang perjuangan kaum kiri memang sangat sulit, namun fenomena yang terjadi pasca kemerdekaan bisa dilihat sebagai faktor sebab akibat dari gerakan kiri yang banyak menyulut konflik berdarah pada masa lalu.
Dari awal kemunculan ideologi maupun organisasi, perjuangan kelas sangat ditonjolkan. Bukan karena kekuasaaan, namun karena kesenjangan. Dengan Bahasa yang mudah tuan-nyonya dan pesuruh mungkin bisa mewakili fenomena yang terjadi di seluruh dunia, termasuk Idonesia.
Kehadiran PKI memang sangat berperan dalam perkembangan negara ini. Bahkan, Sang Proklamator dalam pidatonya saat menghadiri ulang tahun PKI ke -45 pada tanggal 23 Mei 1965 di Istora Senayan menyampaikan
Jen mati aku melu kelangan. Masyumi dibubarkan. PKI disuburkan.
Maksud Soekarno jelas sekali Kalau PKI mati, saya ikut kehilangan. Naskah pidato tersebut diberi judul Subur, Subur, Suburlah PKI.
Tersirat, Soekarno sangat membutuhkan kaum revolusioner progresif dalam perjuangan selama kemerdekaan, hingga pasca kemerdekaan. Setelah Dekrit 5 juli 1959, idelologi komunis menjadi semakin kokoh dengan berjalannya NASAKOM, Nasionalis Agama dan Komunis.
Baca juga: Larangan Jilbab Masa Orde Baru
Memang, pada masa itu konsep Nasakom disuarakan agar rakyat menyadari bahwa selain ideologi, negara butuh kerja nyata. Terdapat proyek pembangunan yang dikenal dengan nama Program Mercusuar. Program ini merupakan salah satu rencana pembangunan skala besar di Indonesia yang ditalangi pihak timur, sebuah kekuatan politik kiri di era Perang Dingin. Tidak hanya Mercusuar, pengaruh ideologi komunis juga membuat Indonesia disegani oleh negara manapun di dunia kala itu.
Mendapatkan keuntungan dari paham kiri membuat pemerintah menjadi tidak siap dengan perubahan politik yang labil. Nasakom sebuah keputusan yang nantinya menjadi bumerang bagi pemerintahan Soekarno.
Sifat progresif (lebih tepat separatis) terhadap negara oleh kaum kiri sebenarnya juga terlihat jauh sebelumnya, saat terjadi Pemberontakan Madiun pada tahun 1948. Amir Syariffuddin dan Musso mendirikan Front Demokrasi Rakyat, melakukan pembantaian terhadap santri bahkan Raden Mas Tumenggung Ario Suryo gubernur Jawa Timur waktu itu pun ikut menjadi korban. Namun hal tersebut dianggap euphoria kebebasan karena sudah terlepas secara de facto dari penjajahan bangsa asing, dan para tokoh ingin menonjolkan hasil pikiran mereka agar diterapkan dalam pemerintahan negara yang berusia sangat muda saat itu. Walaupun beberapa kali pernah bentrok, hubungan pemerintah dengan PKI harmonis kembali sampai terjadinya peristiwa Gerakan 30 September. Sebuah polemik, kejelasannya pun tidak pernah ada hingga sekarang.
Meletusnya Gerakan 30 September menambah sejarah kelam komunisme di Indonesia. Setelah hampir 17 tahun sejak pembantaian Madiun, PKI kembali merusak kepercayaan negara pada aliran kiri. Entah murni konflik atau bisa saja skenario besar yang dimainkan, karena pada era tersebut setiap negara ke-3 memang sedang sibuk membangun jati diri. Tak lama, munculah nama Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar yang ditugaskan untuk menumpas siapa saja yang terindikasi ideologi merah ini. Akhirnya melalui TAP MPRS No. 25 Tahun 1966, segala bentuk ideologi merah dilarang berkembang di Indonesia.
Terlepas dari kelamnya peristiwa Madiun dan Gerakan 30 September. Komunisme menjadi simbol perlawanan terhadap kesenjangan hidup antara proletar yang di marjinalkan dengan borjuis yang di muliakan.
Selalu, Marxisme, Leninisme, Maoisme hingga Revolusi Mental bermuara pada satu ungkapan "Masyarakat Tanpa Kelas
Penulis: Heuriskein (Sejarawan dan pegiat media)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi