Kinerja Bawaslu dan KPU Dapat Lampu Kuning, Bagaimana Nasib Pemilu Nanti?

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Beberapa waktu yang lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan sebanyak 17 partai politik (parpol) yang lolos menjadi peserta pemilu 2024. Ketujuh belas parpol tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu 2024.

Baca juga: Meneropong Pilkada Sidoarjo: Ujian Kepercayaan Publik

Namun, Pusat Studi Hukum Konstitusional Universitas Islam Indonesia (PSHK-UII) menyayangkan sempat terjadi adanya indikasi kecurangan dalam proses verifikasi faktual. Padahal, menurutnya, verifikasi faktual menjadi salah satu rangkaian krusial dalam proses penetapan.

Maka dari itu, PSHK UII merekomendasikan Bawaslu untuk segera mengambil langkah konkrit terkait adanya indikasi kecurangan dalam proses penetapan peserta pemilu. Tak hanya itu, Bawaslu juga didesak untuk langsung melakukan pengawasan ketat kepada setiap proses pemilu 2024 ke depannya, apalagi 2024 sudah di depan mata.

Di sisi lain, PSHK UII juga menyentil KPU agar membuka data hasil verifikasi factual secara transparan dan akuntabel kepada publik. Serta, KPU bisa mengambil langkah hukum pelaku yang melakukan kecurangan, kemudian memperbaiki tata kelola verifikasi agar lebih efektif dan tidak mudah terjadi kecurangan.

Selanjutnya, parpol yang merasa dirugikan dapat mengambil langkah hukum dengan melakukan gugatan atas keputusan KPU perihal Penetapan Peserta Pemilu ke Bawaslu. Masyarakat yang memiliki bukti kecurangan juga dapat menyampaikan ke publik atau ke posko yang telah dibentuk baik oleh lembaga penyelenggara negara, maupun lembaga swadaya masyarakat lainnya secara independen.

Addi Fauzani selaku peneliti PSHK UII menuturkan jika indikasi kecurangan dalam proses verifikasi factual dapat dilakukan oleh siapa saja, baik KPU maupun non-KPU. Salah satu bentuk indikasi kecurangan tersebut berbentuk pada berbagai praktek ketidaksesuaian data rekapitulasi hasil verifikasi faktual.

"Antara kabupaten/kota dengan provinsi beberapa daerah. Data yang ditetapkan di rapat pleno KPU kabupaten/kota menunjukkan sejumlah parpol tidak memenuhi syarat. Namun, rekapitulasi berjenjang provinsi, data itu berubah jadi memenuhi syarat," kata Addi dalam keterangan yang diterima Optika.id, Senin (19/12/2022).

Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!

Dirinya juga mengingatkan Pasal 22E Ayat (1) yang menyebut bahwa pemilu harus dilakukan secara jujur dan adil. Kemudian, disebutkan dalam Pasal 3 UU No.7 tahun 2017, KPU, Bawaslu, dan DKPP wajib menjalankan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, terbuka, akuntabel, tertib, proporsional, professional dan efisien.

"Indikasi kecurangan yang terjadi pada tahapan verifikasi faktual terhadap parpol baik yang dilakukan KPU telah jelas-jelas melanggar amanat konstitusi dan UU Pemilu tersebut," ujar Addi.

Tak hanya Addi, Peneliti PSHK UII lainnya, Aprilia Wahyuningsih juga menjelaskan bahwa salah satu fase paling krusial dari tahapan pemilu yakni tahap verifikasi parpol. Sebabnya, KPU memiliki kewenangan penuh dalam menentukan nasib parpol untuk menjadi peserta pemilu. Tahapan verifikasi parpol tersebut juga merupakan penyaringan awal bagi pemilih terhadap kelayakan parpol.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Mekanisme verifikasi tersebut telah diatur secara ketat dalam Pasal 173 hingga Pasal 178 UU Pemilu dan peraturan turunannya. Maka itu, ia berpendapat, pelanggaran atas mekanisme itu berakibat ke cacatnya prosedur penyelenggaraan pemilu.

Khususnya, dalam proses penetapan peserta, sehingga. pihak-pihak yang dirugikan dapat mengambil langkah hukum yang tersedia. Kemudian, kecurangan dalam proses verifikasi faktual dapat saja terjadi akibat reduksi kewenangan Bawaslu.

"Bawaslu yang seharusnya menjadi pengawas, tapi hanya jadi pendamping sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022," kata Aprilia.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru