Optika.id - Saat ini, marak berbagai bentuk eksploitasi seksual berbasis daring (Online) antara lain pemanfaatan anak untuk tujuan pornograsi berupa grooming dan sexting.
Baca juga: Pantauan Media Sosial: Putusan MK Memicu Kekhawatiran Soal Gibran
Keduanya disebut sebagai perkenalan di dunia maya dengan anak menggunakan identitas palsu kemudian membujuk anak bertukar foto bermuatan pornografi dan sextortion atau bentuk pemerasan kepada anak secara siber sebagai kelanjutan dari grooming dan sexting dengan menggunakan foto bermuatan pornografi anak sebagai ancaman.
Berdasarkan catatan dari KPAI, anak menjadi korban pelacuran yang menempati urutan tertinggi dalam kasus perdagangan orang dan eksploitasi. Salah satu modus yang menyasar anak-anak untuk dieksploitasi secara seksual dan diperdagangkan secara keji ialah melalui media sosial. Tendensi sama juga ada pada kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak-anak sebagai korbannya.
Sepanjang tahun 2018, KPAI mencatat sebanyak 116 anak menjadi korban kejahatan seksual daring, 134 anak menjadi korban pornografi di media sosial, 96 anak menjadi pelaku kejahatan seksual daring dan 112 anak menjadi pelaku kepemilikan media pornografi.
"Data dan kasus yang terungkap ke publik itu lebih kepada fenomena gunung es. Faktanya pasti lebih banyak kasus yang terjadi," tutur Komisioner Bidang Traficking dan Eksploitasi Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/1/2023).
Menurut Ai, saat ini Indonesia sudah mempunyai sejumlah peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak dari tindakan eksploitasi. Peraturan tersebut yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Protokol Opsional Konvensi Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.
Selanjutnya ada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Baca juga: Debat Capres Terakhir Bikin Rakyat Kena Prank Nasional
Kendati banyak undang-undang yang menjamin tersebut, Ai menegaskan bahwa setiap warga negara harusnya tetap berhati-hati terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Menanggapi hal demikian, Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Edi Santoso menekankan pentingnya menumbuhkan daya literasi digital pada anak agar dapat memanfaatkan internet secara sehat.
"Orang tua perlu menumbuhkan daya literasi digital pada anak, yakni mengedukasi, bagaimana memanfaatkan internet secara sehat," kata Edi ketika dihubungi, Senin (9/1/2023).
Koordinator Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Unsoed tersebut menambahkan bahwa literasi digital anak bisa dilakukan jika orang tua mengetahui dan menyadari karakteristik internet sebagai media komunikasi.
Baca juga: Mencegah Anak Bunuh Diri
Selama masa pandemi, ujarnya, anak-anak telah banyak berinteraksi dengan media internet. Oleh sebab itu, peran orang tua menjadi lebih dominan karena orang tua memiliki kuasa dalam akses dan kontrol konten kepada anak-anak. Pendampingan orang tua terhadap anak saat mengakses internet menjadi lebih mendesak apabila anak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah.
"Ada beberapa fitur yang mungkin bisa membantu misalnya untuk media sosial seperti tertentu bisa diaktifkan aplikasi untuk menyaring konten, namun yang lebih efektif tetaplah pendampingan dan pengawasan dari orang tua secara langsung," ungkapnya.
Dia juga menyarankan,orang tua juga perlu memberikan batas waktu bagi anak-anak mereka saat sedang mengakses internet.
Editor : Pahlevi