Optika.id - Saat ini, tak hanya orang-orang dewasa yang keranjingan dunia digital. Anak-anak dari generasi Z (Gen Z) pun akrab dengan dunia digital. Berbagai video maupun foto konsumsi publik pun membuat seolah tak ada beda antara ranah privat dan ranah publik yang kian lama kian menipis.
Baca juga: Pantauan Media Sosial: Putusan MK Memicu Kekhawatiran Soal Gibran
Berbagai kelucuan dari buah hati tak luput mewarnai konten-konten di jagad maya. Para orang tua seolah leluasa dan bebas dalam membagikan konten anak-anak mereka yang tergolong masih di bawah umur sampai akhirnya muncul istilah sharenting sebagai gabungan dari kata sharing dan parenting.
Sederhananya, sharenting merupakan tindakan orang tua yang mengunggah aktivitas anak-anak mereka ke jejaring media sosial. Tindakan yang mungkin awalnya hanya demi kesenangan belaka kini dianggap serius demi menghasilkan cuan.
Aktivitas seperti ini nampak menyenangkan apalagi sampai bisa mendatangkan ladang cuan. Tetapi, banyak dari mereka yang tidak sadar dan terbuai dari validasi media sosial hingga mengabaikan potensi ancaman dari kegiatan yang mereka lakukan.
Padahal, ada berbagai batasan perlindungan yang sudah termaktub dalam undang-undang untuk menghindari segala potensi buruk dari berinteraksi di dunia maya. Di antaranya terkait dengan hak anak atas keamanan dan perlindungan dari eksploitasi anak.
Menanggapi hal demikian, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menjelaskan jika orang tua harus paham peran mereka seperti yang tertulis dalam Pasal 13 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014.
Setiap anak, tulis beleid itu, yang masuk dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak manapun bertanggung jawab atas pengasuhan dan berhak mendapat perlindungan dari eksploitasi baik ekonomi maupun seksual.
Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan perlakuan eksploitasi misalnya tindakan atau perbuatan memanfaatkan, memperalat, atau memeras anak demi memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau bahkan keluarga.
Jadi, jika para orang tua mengunggah dokumentasi dengan subjek buah hati sendiri dan menikmati keuntungannya, maka hal tersebut bisa digolongkan ke dalam kategori eksploitasi.
Ini memprihatinkan. Membuat anak untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata, kata Jasra, ketika dihubungi, Selasa (10/1/2023).
Adapun kategori eksploitasi anak menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) digolongkan ke dalam beberapa jenis. Yang pertama yakni eksploitasi ke arah kekerasan seksual, lalu eksploitasi anak berkaitan dengan keuntungan ekonomi misalnya mengunggah foto atau video anak secara intensif demi menghasilkan uang.
Baca juga: Debat Capres Terakhir Bikin Rakyat Kena Prank Nasional
Berikutnya yakni perdagangan anak, hingga konten pornografis yang bisa didapat dari live streaming atau unduhan dari platform sejenis.
Dia menegaskan jika keuntungan yang didapat orang tua dari unggahan anak di media sosial tidak sebanding dengan dampak yang didapat oleh si anak. Pihaknya mengaku khawatir jika ketenaran anak di media sosial malah memberikan dampak psikologis yang buruk pada usia dan tumbuh kembang si buah hati.
Hal ini disayangkan oleh Jasra sebab saat ini pembuat konten lebih banyak yang hanya memperhatikan hal lain yang menguntungkan pihak-pihak terkait. Seperti hanya memperhatikan iklan, jumlah viewers, serta endorsement yang semata-mata hanya demi keuntungan belaka.
Jasra mengingatkan jika kepopuleran seorang anak diringi dengan kurangnya privasi anak di ruang publik yang seharusnya dijaga dengan baik. ketenaran yang didapat oleh seorang anak, bisa saja menimbulkan sebuah ancaman serius.
Nah dari potensi ini, seharunya para orang tua bisa mempertimbangkan untuk tak gegabah, atau dengan asal mengunggah konten yang berisi tentang si buah hati. Karena niat baik atau viral saja tidak cukup! Penting orang tua teredukasi, mengenai psikologis tumbuh kembang jiwa anak, tegas Jasra.
Sementara itu, Psikolog Klinis dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (UNTAG), IGAA Noviekayati menilai jika eksploitasi anak di media sosial bisa memberikan dampak bagi perkembangan psikolog maupun mental anak-anak.
Baca juga: Mencegah Anak Bunuh Diri
Dia mengatakan jika setidaknya ada dua dampak psikologi yang dialami anak akibat eksploitasi. Yang pertama yakni membuat anak menjadi kian agresif. Dampak ini menggambarkan anak akan seperti kecanduan untuk tampil di media sosial.
Jika demikian, si anak akan memperlihatkan sikapnya yang agresif serta kerap menyerang orang untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat luas.
Dampak lainnya, yakni defensif. Bila dampak ini muncul, anak akan memperlihatkan sikap seolah-olah trauma dengan media sosial. Sang anak akan cenderung menghindari keramaian dan kerap mengurung diri di tempat tertentu.
Kalau yang defensif ini, bisa mematikan potensi yang dimiliki anak. Sebab, dia akan mengurung dirinya dan menjauh dari lingkungannya, papar Noviekayati.
Menurut Novie, dampak tersebut baru akan terlihat saat anak-anak mulai beranjak dewasa. Oleh sebab itu, dia menyarankan agar para orang tua bisa dengan bijak serta turut aktif dalam mengawasi anak-anak saat menggunakan media sosial atau memanfaatkan fasilitas internet lainnya agar tidak berdampak negatif pada si buah hati.
Editor : Pahlevi