Kendala Penanganan Kemiskinan yang Masih Bergantung Pada Data

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah menilai jika penanganan masalah kemiskinan bergantung pada data. Dia menganalisis jika masalah pendataan menjadi salah satu penyebab dari mengakarnya persoalan kemiskinan di Tanah Air. Hal tersebut mengakibatkan program pengentasan kemiskinan mengalami perbedaan di tiap kementerian dan lembaga.

Baca juga: Sri Mulyani: Anggaran Perlinsos Bansos 6 Tahun Tak Jauh Beda!

Belum lagi, data yang sudah tersedia seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dimiliki oleh Kementerian Sosial (Kemensos) menurutnya tidak mencerminkan kondisi lapangan yang sebenarnya.

Ego sektoral tampak dalamdata kemiskinan, karenapunya kepentingan sendiri,dan terkait denganproyek dimasing-masing instansi, ujar Trubus ketika dihubungi, Selasa (17/1/2023).

Trubus menyatakan jika problem pendataan ini baik Kemensos, Kementerian atau Lembaga terkait dan Badan Pusat Statistik (BPS) juga berpengaruh ke kepentingan politik masing-masing pihak. Data tersebut nantinya digunakan sebagai nilai tawar agar mendapatkan kucuran APBN yang lebih besar ke tiap K/L. namun, tujuan utamanya bukan untuk menyelamatkan melainkan memperoleh anggaran saja.

Terkait hal tersebut dirinya memberikan contoh kasus Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil yang kesal kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena merasa tidak mendapatkan kejelasan terkait dengan dana bagi hasil (DBH) minyak yang semestinya diterima lebih besar.

Trubus menganalisis dalam kasus tersebut, ada faktor persoalan data kemiskinan yang jadi batu pijakan Bupati Meranti untuk meminta anggaran yang lebih dari pemerintah pusat.

Di satu sisi, untuk mendapatkan data kemiskinan yang akurat juga tak kalah sulit. Trubus menilai jika adanya informasi yang ditutupi dari pemerintah daerah (pemda) untuk enggan membuka data kemiskinan sebenarnya di daerahnya. Kepala daerah ini dianggap merasa malu apabila di daerahnya diketahui banyak masyarakat miskin sehingga dirinya dicap sebagai kepala daerah yang gagal membina warganya.

Apalagi kalau kemudian orang tersebut punya punya ambisi untuk berikutnya.Merekatidak mau mengakui, karena takut pencitraannya rusak. Ganjar Pranowo ditanya Jawa Tengah kemiskinannya bagaimana, tidak akan mau,ucapnya.

Sementara itu, masyarakat yang sudah terdata juga bisa menimbulkan permasalahan lain. Penerima bantuan dari program pengentasan kemiskinan alhasil dibuat tidak tepat sasaran. Orang miskin yang masuk ke DTKS, sambung Trubus, didasari oleh laporan pemda yang menurutnya sarat akan kepentingan politis sehingga mereka yang tidak tergolong dalam kategori miskin justru ada dalam DTKS.

Contohnya, pencairanBLT (Bantuan Langsung Tunai).Banyak yang salah sasaran, ungkapdia.

Tak hanya itu, dia menyebut jika ada Pemda yang terkesan cuek dengan kemiskinan penduduknya sehingga data yang diterima oleh Kemensos dalam DTKS merupakan data usang. Tak hanya itu, Trubus juga menyebut jika penyebab kemiskinan sulit untuk dientaskan juga berasal dari sikap orang miskin itu sendiri seperti tidak memanfaatkan BLT maupun bantuan non tunai lain sebagaimana mestinya.

Sementara itu, menurut sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto menguraikan jika kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Derajad membagi kemiskinan menjadi empat jenis yakni kemiskinan absolut, relative, budaya dan kemiskinan structural. Dia menjelaskan jika kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang disebabkan karena pendapatan.

Baca juga: Bijakkah Solusi Dana Desa Rp5 Miliar yang Ditawarkan Cak Imin?

Sementara kemiskinan relative adalah kemiskinan yang sifatnya relative misalnya dalam satu perumahan semuanya mempunyai mobil, tapi ada satu keluarga yang memiliki motor. Maka, keluarga yang memiliki motor tersebut dikategorikan sebagai miskin relative.

Kemiskinan budaya ialah orang yang menjadi miskin atau dimiskinkan karena kultur. Contohnya, orang yang hidup di pedalaman, standarnya berbeda dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Lalu kemiskinan structural yaitu kemiskinan karena kebijakan.

Di bawah semua itu, masih ada kemiskinan ekstrem atau bisa dikatakan miskin sekali. Kriteria miskin ekstrem menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bisa dilihat dari bangunan tempat tinggalnya. Derajad menjelaskan bahwa kriteria tersebut bisa dilihat dari tembok rumahnya yang masih kayu dan lantainya masih tanah.

Menurut Derajad, pola pikir merupakan sebab dari kemiskinan tumbuh subur di negara ini. Dia menilai jika ada masyarakat yang sebetulnya berkecukupan, tetapi pikirannya merasa dirinya masih seperti orang miskin. Secara tegas dia mengkritisi jika pola pikir ini terkadang diciptakan oleh kebijakan pemerintah. Contohnya, kasus BLT.

Coba BLT itu pasti tidak terjadi mendadak. Pasti ada peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Kalau memang semangat membantu kemiskinan kan tidak harus menunggu mau Pemilu, ucapnya ketika dihubungi, Selasa (17/1/2023).

Contoh lainnya yakni BLT BBM. Saat ini penerima BLT BBM merupakan mereka yang tidak produktif padahal seharusnya penerimanya adalah mereka yang produktif dengan mobilitas yang tinggi.

Karena penerima dari mobilitas yang rendah, maka uang yang diterima digunakan untuk mencukupi kehidupan saja, bukan membeli BBM. Hal ini yang kemudian menjadi budaya kemiskinan tetap muncul di masyarakat menurut pandangan Derajad.

Baca juga: Ekonom UI Sebut Bansos Masih Mutlak Diperlukan

Derajad menilai,program bantuan yang selama ini dikucurkan lebih bersifat temporer. Bantuan yang hanya menolong jangka pendek. Kecenderungan program kontemporer, lantaran unsur politis. Ingin menunjukkan keberhasilan dalam waktu singkat.

Seharusnya program lebih diarahkan untuk menolong jangka menengah yang membuat orang miskin menjadi produktif.Yakni, denganmenambah keterampilanuntuk menaikkanproduktivitas.

Jika ingin suatu program sukses secara berkelanjutan, ujar Derajat, maka pemerintah harus mendorong masyarakat miskin agar memiliki asset. Dia mengklaim, jika orang-orang miskin memiliki asset otomatis dia akan memelihara asetnya. Ketika mereka berkomitmen memelihara asset, maka mereka akan bekerja untuk asset atau mempekerjakan asetnya.

Selain perlu meningkatkan program produktivitas, Derajad menyebut jika peningkatan akurasi data kemiskinan juga perlu diperhatikan agar tepat sasaran. Begitupun dari segi pengawasannya.

Di sisi lain ada sejumlah hambatan terkait pendataan kemiskinan.Seperti kompetensi pihak yang mencatat. Juga, terkait pembaruan datayang kerap tersendat dilakukan pemerintahpusatsetelah pemda mengirimkannya.

Terakhir, dirinya juga menyoroti soal keterpaduan data yang hingga kini keterpaduan data tersebut masih tersebar di masing-masing kementerian/lembaga. Maka dari itu, tak ajeg dan padunya data ini jelas memengaruhi sasaran, dan kelanjutan dari program penanganan kemiskinan.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru