Optika.id - Belakangan ini, permainan tempo dulu yakni lato-lato menjadi polemik di kalangan masyarakat. Kehadirannya yang begitu masif dan digemari di kalangan anak-anak ini di sisi lain menghadirkan keluhan akibat suaranya yang dinilai cukup bising dan mengganggu ketika dimainkan, hingga risiko cedera yang mungkin terjadi dalam praktik permainannya.
Baca juga: Retno Marsudi: Israel Memiliki Tujuan Meniadakan Pengungsi!
Kendati demikian, tak sedikit yang menyambut positif kehadiran lato-lato ini di kalangan anak-anak. Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Koentjoro menilai bahwa kembalinya lato-lato sebagai permainan yang tren saat ini menimbulkan sisi positif yang perlu dipahami oleh masyarakat. Salah satunya ialah mengurangi ketergantungan anak untuk bermain gadget.
"Segi positifnya ketergantungan anak pada handphone (HP) jadi berkurang. Dulunya waktu untuk main HP sekarang ke lato-lato," kata Koentjoro dalam keterangan tertulis, Selasa (17/1/2023).
Selain itu, dia juga menilai bahwa lewat permainan lato-lato, anak-anak dapat melatih konsentrasi, kepercayaan diri, ketangkasan fisik, sosialisasi, dan kemampuan lainnya yang tidak disadari oleh orang dewasa. Selayaknya sebuah permainan olah raga, yang belakangan mulai ditinggalkan anak-anak yang lebih memilih larut dalam gadget.
"Lato-lato ini bisa menjadi sarana anak berolahraga, belajar konsentrasi secara murah," ucapnya.
Mengenai potensi permainan yang dapat melukai anak-anak ketika memainkannya, Koentjoro mengingatkan peran orang tua dalam mendampingi anaknya bermain. Kehadiran orang tua, ujarnya, sangat penting dalam meminimalisir risiko yang tak dikehendaki dalam permainan itu.
Baca juga: Diplomasi Indonesia untuk Palestina, Menlu Retno: All Eyes on Rafah!
Peran orang tua menurut Guru Besar Fakultas Psikologi UGM tersebut menjadi krusial guna memberikan pemahaman atau mengedukasi anak-anak terkait cara, aturan, hingga bahaya dari setiap permainan yang mereka mainkan. Bukan hanya pada kasus lato-lato yang sedang tren ini saja.
Secara tegas dia mengaku kurang setuju apabila sekolah melarang lato-lato. Menurutnya, peran sekolah sama seperti peran orang tua. Yakni untuk memberikan edukasi berupa pengertian kepada siswanya terkait dengan aturan dan cara bermain lato-lato yang aman serta tidak mengganggu lingkungan.
Sekolah, menurut Koentjoro, justru bisa mnejadi fasilitator bagi anak-anak dalam menyalurkan hobi bermain lato-lato. Misalnya, dengan menyelenggarakan lomba lato-lato yang tidak hanya sebagai sarana menampung kesenangan sang anak, tetapi di sisi lain juga mengajarkan bagaimana bermain secara sportif dan jujur dalam suatu kompetisi hobi.
Baca juga: Triyatni Martosenjoyo: Tingkat Kepuasan Rakyat ke Jokowi 80 Persen Itu Omong Kosong!
Artinya, sekolah bukan hanya sekadar melarang anak bermain lato-lato karena berbahaya atau membiarkan saja, melainkan harus mengingatkan anak-anak akan adanya potensi bahaya permainan ini bagi diri sendiri maupun orang lain, serta lebih peka terhadap lingkungan dengan tidak mengganggu ketika bermain.
"Peran orang tua harus ada, bermain dengan aman harus diajarkan kepada anak. Aturan kapan main juga dijelaskan seperti saat memakai HP, agar tidak mengganggu lingkungan," jelasnya.
Editor : Pahlevi