Optika.id - Sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup dinilai Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak akan menghapus tren politik uang. ICW menilai jika hal tersebut hanya memindahkan dari calon kepada masyarakat menjadi calon kepada partai politik (Parpol).
Baca juga: Meneropong Pilkada Sidoarjo: Ujian Kepercayaan Publik
Pasalnya, kandidat yang terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislative (caleg) yang sepenuhnya ditentukan oleh parpol.
Selain itu, sistem proporsional tertutup rentan membuka ruang nepotisme pada tubuh internal parpol. Hal tersebut bisa terjadi lantaran para calon yang memiliki relasi dengan structural partai akan lebih mudah mendapatkan nomor urut tertentu.
"Sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat. Bagaimana tidak, penentuan akhir keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai dan oleh karenanya, anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik," tutur peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Rabu (25/1/2023).
Proses penjaringan caleg, imbuhnya, bakal tertutup apabila menggunakan sistem proporsional tertutup. Maka dari itu, dirinya merasa tak heran apabila ada parpol yang secara serampangan dan babat alas mengusung 72 caleg residivis kasus korupsi pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.
Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!
Dengan logika yang sama, ujarnya, tentu bakal sulit menaruh kepercayaan kepada parpol yang menentukan sendiri calon terpilih melalui skema proporsional tertutup sebab publik tidak diberikan kesempatan untuk mengikuti track recordnya.
Tak hanya itu, Kurnia juga menilai jika sistem proporsional tertutup akan menjatuhkan partisipasi masyakarat dalam menentukan caleg, selain memperkuat nepotisme parpol itu sendiri. Hal tersebut lantaran membuka keran ruang gelap maraknya politik uang.
"Bagaimana tidak, penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik," katanya.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Kurnia juga menyinggung bahwa Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asyari melanggar kode etik terutama pada Pasal 8 huruf C Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017. Sebabnya, KPU menjadi pihak pertama yang angkat suara terkait sistem proporsional tertutup seiring dengan adnaya gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Aturan itu menyebutkan, bahwa dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu dilarang mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses pemilu. Atas dasar itu, penjatuhan sanksi merupakan pilihan yang tepat dan rasional diberikan kepada pemimpin KPU RI ini," tuturnya.
Editor : Pahlevi