Optika.id - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bercerita tentang kecurangan yang terjadi pada pemilu era Orde Baru hingga era Reformasi yang memiliki bentuk kecurangan berbeda-beda.
Baca juga: Kemenangan Prabowo = Kebangkitan Orde Baru?
Menurutnya, pada era Orde Baru kecurangan pemilu dilakukan oleh pemerintah. Ketika itu, Presiden Soeharto menugaskan Menteri Dalam Negeri sekaligus Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) untuk menyelenggarakan pemilu, namun hasilnya nanti tidak boleh dilawan sementara hasilnya sudah ditentukan sebelumnya oleh pemerintah.
Pada era dimana Soeharto berkuasa, Mahfud menyebut jika yang harus menang pemilu yakni Golkar sementara yang menjadi bupati harus dari kalangan TNI.
"Yang menentukan itu ABG, ABRI, birokrasi dan Golkar. Itu zaman Orde Baru," ungkapnya dalam acara Cangkrukan Menko Polhukam di Surabaya yang dipantau daring, Selasa (28/2/2023).
Sedangkan pada era Reformasi malah sebaliknya. Bentuk kecurangan yang terjadi malah dilakukan oleh peserta pemilu bukannya pemerintah. Misalnya, Partai B mencurangi Partai A dan di tempat lain Partai C mencurangi Partai D. hal itu lazim ditemui saat pemilu era Reformasi.
Kecurangan yang dimaksud misalnya partai tertentu menyogok lurah untuk menambah suara caleg yang dimaksud serta mengurangi suara caleg tertentu. Meski bukan bagian dari penyelenggara pemilu, namun Mahfud mengatakan jika saat itu lurah bisa berperan karena orang yang bertugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah orang-orang dari lurah itu sendiri.
"Itu kecurangan. Kok tahu? Saya tahu karena saya hakim MK (Mahkamah Konstitusi)," katanya.
Mahfud mengaku aktif di berbagai instrument pemilu di era Reformasi. Dia pernah menjadi ketua Panitia Pengawas Pemilu Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1999. Kemudian dia juga pernah menjadi peserta pemilu bersama dengan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dari Fraksi PKB. Dari pengalamannya itulah dia akhirnya tahu bagaimana lika-liku dan luka menjadi peserta pemilu.
Selanjutnya, dirinya pernah menjadi hakim MK yang bertugas mengurusi pemilu.
"Kesimpulan saya selama pemilu di era Reformasi itu selalu terjadi kecurangan," ujar dia.
Siapa Dicap Gila Ketika Era Orba?
Baca juga: Mahfud MD: Hak Angket DPR Bisa Makzulkan Jokowi Seperti Soeharto
Dia mengamati pada era Reformasi sudah tidak ada ketertiban dari peserta pemilu dari partai masing-masing karena mereka saling ingin berebut kekuasaan pasca tumbangnya era otoriter Orde Baru.
Dia sempat menyayangkan adanya ketidaktertiban itu pasalnya era Reformasi harusnya sudah bagus dalam hal kebebasan dalam mencalonkan diri menjadi presiden atau yang lainnya.
Ketidaktertiban itu disayangkan Mahfud, lantaran di era Reformasi ini sudah bagus dalam hal kebebasan mencalonkan diri jadi presiden. Pasalnya, saat Orde Baru ketika mencalonkan diri jadi presiden dicap gila.
Ironisnya, secara tak berdasar orang yang hendak mencalonkan diri menjadi presiden tersebut dicap gila, diumumkan dimana-mana, bahkan yang lebih buruk ditangkap karena dianggap makar oleh pemerintah.
Misalnya saja Sawita Kartowibowo. Dia ditangkap dan masuk penjara karena mengatakan hendak mencalonkan diri jadi Presiden RI dan menganggap kepemimpinan Soeharto tidak buruk. Pada akhirnya, dia juga diumumkan gila.
Baca juga: Soal Isu Kecurangan Pemilu 2024, KPPS Angkat Bicara
Tak hanya laki-laki saja, perempuan juga bernasib sama. Pada saat itu, ada seseorang yang mengatakan harapannya agar perempuan menjadi presiden dan mengkritik jika Orde Baru itu buruk.
"Dia juga ditangkap. Gila katanya. Padahal orangnya enggak gila. Sampai sekarang masih ada," imbuh Mahfud.
Lebih lanjut, sosok yang pernah menjadi korban dari keberingasan Orde Baru yakni Marzuki Darusman. Sewaktu duduk di kursi DPR, kinerjanya begitu cemerlang dan rakyat mendukungnya menjadi presiden selanjutnya. Meskipun dia menegaskan bahwa tidak ingin menjadi presiden, namun akhirnya dia juga disingkirkan begitu saja.
Sementara, pada era Reformasi, lanjut Mahfud, masyarakat bisa mencalonkan diri. Tidak ada yang menangkap.
"Itu suatu kemajuan, tetapi harus tertib agar negara menjadi lebih baik," tutup Mahfud.
Editor : Pahlevi