Klaim Pemerintah Peduli HAM Dipertanyakan Dunia

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani yang tergabung ke dalam Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia mempertanyakan komitmen pemerintah terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pasalnya, pemerintah menolak sejumlah rekomendasi dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang Universal Periodic Review (UPR). Terutama dalam sidang UPR Putaran Keempat di Palais de Nations, Jenewa pada 9 November 2022 silam.

Baca juga: Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya, Terprovokasi atau Diprovokasi?

Dilansir dari situs resmi Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR), pemerintah memutuskan hanya menerima secara penuh 205 dari 269 rekomendasi dan menolak secara penuh sisanya. Sementara itu, ada 5 rekomendasi sisanya yang diterima hanya sebagian saja.

Untuk diketahui, UPR adalah mekanisme HAM dibawah naungan Dewan HAM PBB. Tiap-tiap negara setiap empat hingga lima tahun sekali akan ditinjau situasi HAM nya oleh negara anggota PBB yang lain.

Menurut Julius, dalam sidang UPR Putaran Keempat tersebut pemerintah Indonesia telah menolak sejumlah rekomendasi garis besar isu pelanggaran HAM yang terjadi misalnya female genital mutilation, pelanggaran HAM di Papua, isu kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, pencabutan atau revisi aturan-aturan hukum yang represif seperti KUHP, UU Ormas, UU ITE, hak-hak kelompok rentah seperti LGBTQ, perempuan dan anak, pencegahan terhadap kejahatan kemanusiaan melalui ratifikasi ICC (statuta Roma) dan berbagai rekomendasi terkait penghapusan atau moratorium hukuman mati.

Terkait situasi HAM di Papua, Indonesia hanya mengambil lima dari 10 rekomendasi.

Rekomendasi yang ditolak terkait hak penentuan nasib sendiri dengan mekanisme dialog inklusif serta mengenai serangkaian kunjungan oleh Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB maupun oleh pengamat independen ke Papua. Sementara itu, rekomenadasi yang diterima secara umum yakni mengenai jaminan kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul serta rekomendasi untuk investigasi dugaan pelanggaran HAM di Papua.

Pemerintah Indonesia juga secara terbuka mengingkari janjinya untuk mengundang komisioner tinggi HAM PBB ke Papua agar melihat dan mendengar lebih dekat situasi tentang Papua. Pengingkaran janji tersebut tercermin dalam respons terhadap penolakan rekomendasi UPR Putaran Keempat ini.

Baca juga: Simpatisan Yakin Perihal Prabowo Langgar HAM adalah Kabar Bohong

"Lebih dari 20 rekomendasi mengenai penghapusan dan/atau moratorium hukuman mati, termasuk di dalamnya mengenai ratifikasi Second Optional Protocol ICCPR, seluruhnya ditolak oleh Pemerintah Indonesia. Dalam laporan resmi PBB mengenai sikap Indonesia terhadap rekomendasi UPR, Pemerintah berargumen bahwa hukuman mati akan terus berada dalam hukum positif Indonesia karena itu dianggap sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia," ucap Julius dalam keterangan tertulis yang dikutip Optika.id, Sabtu (25/3/2023).

Hukuman Mati yang Tidak Berpengaruh

Lebih lanjut, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dalam respons lisan di sidang UPR Putaran Keempat mengatakan bahwa Indonesia masih membutuhkan hukuman mati karena masih tingginya tingkat kriminalitas terkait narkotika. Menurut Julius, argument ini sudah kepalang usang pasalnya banyak studi yang mengatakan bahwa pemberlakuan hukuman mati tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penurunan tingkat peredaran narkotika.

Pemberlakuan hukuman matipun juga bertentangan dengan semangat reintegrasi sosial pemasyarakatan serta bertentangan dengan asas restorative justice. Dalam kesempatan yang sama, Yasonna berdalih bahwa KUHP yang baru disahkan memuat hukuman mati merupakan hukuman alternative.

Baca juga: YLBHI Tak Yakin Capres Selanjutnya Tuntaskan Pelanggaran HAM

Kemudian ada lima rekomendasi terkait dengan KUHP, UU Ormas, UU ITE dan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Rekomendasi tersebut mendorong penghapusan serta revisi pasal-pasal yang dinilai represif serta membatasi ruang sipil.

Pemerintah Indonesia mendapatkan rekomendasi dari lima negara agar meninjau, mencabut, merevisi maupun mengamandemen berbagai aturan hukum yang mengekang kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan berkumpul di Indonesia.

"Ditolaknya rekomendasi-rekomendasi ini menegaskan tidak adanya kemauan negara untuk menjamin hak-hak sipil dan politik setiap orang yang ada di yurisdiksinya, seiring dengan semakin intensnya kriminalisasi terhadap para pembela HAM, seperti Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Hal-hal tersebut semakin mempertegas arah Pemerintah Indonesia yang semakin anti kritik dan beranjak menuju otoritarianisme, meskipun tanpa malu-malu, Pemerintah Indonesia selalu mengaku sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi," pungkas Julius.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru