Sejarawan: Industri Perbukuan Tanah Air Mengalami Masalah yang Serius

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Beberapa waktu terakhir dunia literasi Indonesia, khususnya industri perbukuan mengalami pertumbuhan yang signifikan. Berdasarkan hasil riset dari Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tahun 2020, sebanyak 5.200 entitas menerbitkan buku di Indonesia. sebanyak 62 persen atau 3.280 di antaranya merupakan perusahaan penerbitan dengan orientasi bisnis dari skala kecil hingga besar.

Baca juga: Membicarakan Seks Tanpa Tabir dan Lebih Berani!

Sedangkan dalam 3 tahun terakhir, jumlah judul buku yang terbit juga mengalami pertumbuhan yang cukup konsisten. Dari tahun 2017 ke 2018, sebanyak 16.162 judul buku atau sekitar 25,8 persen yang diterbitkan. Sedangkan pada tahun 2018 ke 2019, judul buku yang terbit tumbuh sebanyak 21,2 persen atau sekitar 16.749 yang berhasil terbit.

Meskipun iklim industri perbukuan mengalami hembusan kabar baik, namun Sejarawan sekaligus Founder dari Komunitas Bambu, JJ Rizal menilai jika industri perbukuan Tanah Air saat ini seperti hutan belantara yang mana semua pelaku yang terlibat di dalamnya masih berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya sebuah sistem distribusi yang terang bagi penerbit, serta tidak adanya jaminan proses akses buku yang mudah bagi pembaca di seluruh pelosok negeri.

Dirinya menganggap bahwa saat ini masalah yang sulit dipecahkan oleh industri perbukuan cukup pelik dari hulu ke hilir. Hal tersebut diperparah oleh negara yang dianggap tidak hadir untuk secara langsung menangani ekosistem perbukuan agar lebih baik.

Misalnya saja, dari proses percetakannya, kertas baca yang digunakan sebagai bahan baku utama buku masih diimpor dari luar negeri, bukannya diproduksi negeri sendiri. Kemudian dari sisi distribusi, penerbit menghadapi sejumlah tantangan terkait ketentuan pembagian royalty atau keuntungan penjualan buku yang menyentuh angka 50 58 persen dari berbagai toko buku besar. Angka tersebut dinilai masih memberatkan. Tak hanya itu, masalah lain muncul berupa banyaknya buku bajakan yang dijual di berbagai marketplace lantaran tidak ada hukum kuat yang mengatur.

Selain itu, masalah lain berupa aksesibilitas buku pun muncul. Khususnya kesulitan akses bagi masyarakat Indonesia di bagian Timur. Hal ini disebabkan oleh industri perbukuan yang masih terpusat di Pulau Jawa menjadi alasan mengapa tarif ongkos kirim buku ke daerah-daerah Indonesia di bagian Timur relative mahal sehingga harga buku yang dijual mau tidak mau harus dinaikkan sekitar 15 20 persen dari harga jual di Jawa.

Hal tersebut juga dirasakan oleh Puput, pembaca buku dari Aceh yang mengaku harus menunggu event-event tertentu untuk membeli buku secara online. Kendati memanfaatkan event marketplace yang biasanya harganya murah, namun Puput mengaku jika harga ongkos kirimnya masih mahal.

Kalau dari Jakarta dan kota-kota lain di Jawa seperti Jogja tuh cukup mahal ya kalau di Aceh. Bisa 50 ribuan gitu kalau enggak ada promo. Jadi kalau enggak beli sekalian banyak, lumayan rugi, ucapnya kepada Optika.id, Sabtu (29/4/2023).

Terkait hal tersebut, Rizal mengamini jika orang Indonesia Timur yang dalam statistic ekonominya lebih rendah harus membayar lebih mahal dalam membaca atau mengakses buku daripada orang Jawa.

Baca juga: Tak Bisa Dipandang Sepele, Ini Manfaat Menulis Tangan yang Banyak Manfaat

Oleh karena itu, Rizal menilai bahwa negara masih belum hadir dalam upaya menyelamatkan industri perbukuan nasional yang seharusnya menjadi salah satu garda terdepan untuk usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Upaya tersebut, sambung Rizal, bisa dilakukan dengan cara pemerintah yang tegas membentuk semacam Dewan Perbukuan Nasional yang bertugas untuk menangani permasalahan industri perbukuan nasional mulai dari hulu ke hilir. Hal tersebut disebabkan karena Ikapi tidak turut andil secara langsung dalam menangani bahkan mengurai permasalahan industri penerbitan Indonesia, padahal Ikapi merupakan satu-satunya asosiasi penerbitan di Indonesia.

Kemudian dari sisi bahan baku yang diimpor dari luar, pemerintah memberikan subsidi kertas kepada penerbit agar bisa memangkas ongkos cetak. Sementara itu, Dewan Perbukuan Nasional dari sisi distribusi bisa mengaitkan industri buku dengan berbagai perpustakaan umum daerah (Perpumda) di seluruh Indonesia.

Tujuannya agar Perpumda mempunyai akses terhadap berbagai buku yang bisa memperkaya wawasan masyarakat dari penerbit langsung sehingga menjadi bahan bacaan yang diakses secara mudah oleh siapapun tanpa terkecuali. Di sisi lain, di tiap perpumda juga bisa menghadirkan toko buku dan untuk mengatasi ongkos yang murah, maka pemerintah bisa bekerja sama dengan Pos Indonesia untuk memudahkan proses pengiriman buku.

"Jadi penerbit tidak lagi menghadapi persoalan distribusi. Karena begitu mereka cetak dan lapor ke Perpusnas lalu terkoneksi dengan Dewan Perbukuan Nasional, pemerintah bisa membeli buku-buku sebagai bacaan di perpumda," kata Rizal, Sabtu (29/4/2023).

Baca juga: Tingkat Kinerja Baca Rendah, IKAPI: Banyak yang Sulit Bedakan Fakta dan Opini

Tak hanya itu, penerbit juga menghadapi persoalan lain yakni proses distribusi yang belum berjalan dengan baik. Tak ayal, banyak penumpukan buku-buku di gudang penyimpanan namun hanya sedikit penerbit yang memiliki gudang layak pakai untuk menjaga kualitas buku-buku mereka. Sehingga, buku-buku banyak yang rusak dan tidak layak dijual.

Akhirnya, kebanyakan penerbit kini juga memberlakukan sistem print on demand atau mencetak buku sesuai permintaan, untuk menghindari risiko penumpukan yang membuat buku menjadi rusak sehingga harganya anjlok.

Dalam hal ini, Rizal menilai pemerintah juga bisa membantu menyediakan gudang di setiap wilayah untuk industri perbukuan nasional.

"Di tengah krisis pemikiran dan nilai saat ini, industri perbukuan ini perlu ditengok," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru