Optika.id - Pertentangan ras maupun etnis yang berlarut-larut dari dulu hingga kini memang seolah tidak ada habisnya meskipun banyak masyarakat yang sudah mulai sadar untuk tidak menggunakan dua hal tersebut untuk memicu perang identitas yang berbahaya.
Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa
Menurut Sejarawan Asal Thailand, Jirayudh Sintuphan, pola pikir etnis dan rasisme yang dikotak-kotakkan merupakan warisan bangsa Eropa pada masa kolonialisme di berbagai negara. Tujuannya yakni memudahkan mereka untuk menguasai dunia dan menciptakan dunia ketiga.
"Ide adanya ras bukan natural, bukan kita yang membuat. Begitu pula etnis, bukan bangsa kita masing-masing yang menciptakan, itu semua dari Barat," kata Jirayudh dalam webinar beberapa waktu yang lalu bertajuk Ras, Etnis, dan Kolonialisme dikutip Optika.id, Rabu (3/5/2023).
Pada era kolonialisme, jelas Jirayudh, pola pikir rasisme ini sengaja dibentuk oleh mereka agar mengakui etnis masing-masing, misalnya seperti yang terjadi di Padang dan Aceh. Masyarakat disana dibentuk untuk mengakui bahwa mereka etnis yang terpisah, bukan satu kesatuan sebagai etnis Indonesia atau etnis Sumatera.
Sementara itu, ketika para penjajah ingin mendominasi sebuah tempat yang baru didatangi, maka mereka akan menerapkan politik rasial. Dalam hal ini, mereka memperlakukan mereka berdasarkan rasnya dengan tujuan memudahkan dalam membedakan antara kelompok satu dengan kelompok lain serta menunjukkan superioritas kelompok penjajah.
"Masyarakat dikategorikan ke dalam beberapa golongan ras untuk tujuan politik dan ekonomi," kata Director of South Asian Center, Institute of Asian Studies Chulalongkorn University, Thailand, tersebut.
Baca juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel
Sebelumnya dikatakan oleh Jirayudh jika studi mengenai kasta, ras dan kelas sudah dilakukan oleh Oliver Cox. Dalam studi tersebut dijelaskan bahwa ras diciptakan dengan tujuan mengeksploitasi manusia agar mendapatkan sesuatu dari kelompok lainnya, jadi manusia seperti diadu domba dengan para sesamanya oleh sesamanya sendiri.
Misalnya yakni perbudakan yang terjadi di Afrika yang menjadi komoditas untuk menciptakan serta meraup segala kekayaan kepada pihak kolonial yang dianggap lebih berharga.
Dalam hal ini, Jirayudh menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh merosotnya ekonomi Eropa hingga mencapai tingkat keterpurukan dan beberapa warganya bermigrasi mencari tempat tinggal untuk membentuk kehidupan baru yang mana Afrika jadi salah satu tujuannya.
Baca juga: Seberapa Serius Pemerintah Tangani Korban HAM 1965?
Akan tetapi, hal tersebut terkendala oleh cuaca ekstrim, hampa dan terpencil. Maka dari itu, penjelajah dari Eropa merasa putus ada di sana. Namun, di saat yang sama mereka melihat potensi dari perilaku warga asli Afrika yang kuat dan gigih dalam bertahan hidup, berburu dan bekerja. Oleh sebab itu, warga Eropa yang berada di Afrika kemudian membentuk strategi yakni menanamkan pemahaman ras sebagai upaya untuk mempekerjakan warga asli Afrika sementara mereka bisa santai berleha-leha. Hal inilah yang menjadi cikal bakal kolonialisme.
Tak ubahnya memanfaatkan ras seperti di Afrika, bangsa Eropa yang ingin menang banyak dan menguasai segalanya juga menggunakan cara yang sama yakni memanfaatkan agama karena agama dianggap mampu untuk memisahkan satu golongan dengan budaya dan Bahasa yang sama. Hal ini terlihat di sebagian Provinsi Bengal, India dan Bangladesh yang memiliki budaya yang sama tapi harus dipisahkan karena perbedaan agama.
"Di Indonesia terdapat Lombok dan Bali yang seolah-olah dipisahkan. Keberagaman itu baik, namun pada awalnya hal ini diciptakan oleh Bangsa Eropa demi keuntungan mereka," pungkas Jirayudh.
Editor : Pahlevi