Mengintip Faktor Pernikahan dan Perceraian Dini yang Melanda Pasangan Muda

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Beberapa waktu lalu media sosial digemparkan oleh postingan salah satu akun yang heran dengan banyaknya perceraian pasca lebaran. Mereka yang mengajukan gugatan cerai didominasi oleh pasangan berusia muda.

Baca juga: PDI-P: Tak Ada Kader di Kabinet Prabowo, Tapi Dukung Kedaulatan dan Kebijakan Positif

Bukan hal yang mengherankan sebenarnya karena angka perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pemicu dari kandasnya biduk rumah tangga tersebut beragam misalnya pernikahan dini, perselingkuhan, hingga alasan ekonomi. Namun, yang menjadi perhatian bukan faktor pemicunya. Melainkan usia pasangan tersebut masih muda dengan pernikahan yang baru seumur jagung saja.

Jumlah kasus perceraian di Indonesia memang terus mengalami tren peningkatan. Dilansir dari laporan Statistik Indonesia, pada tahun 2021 angka perceraian mencapai 447.743 kasus. Angka ini meningkat 53,50% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 291.677 kasus saja.

Menanggapi fenomena tersebut, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menyebut jika salah satu penyebab dari perceraian di Indonesia yakni didominasi oleh faktor percekcokan kecil berkepanjangan yang terjadi antara pasangan. Selain itu, dia menyebut jika pihak istri mayoritas menggugat cerai lebih dulu dibanding pihak suami.

Adanya pertengkaran panjang antara pasangan suami istri tersebut, ujar Hasto, mengindikasikan bahwa keduanya tidak mampu menoleransi perbedaan yang ada. Oleh sebab itu, pasutri harus memiliki sikap dewasa agar saling memahami, memaklumi, dan memaafkan masing-masing pihak. Hal tersebut agar bahtera pernikahan masih terjaga dengan elok.

Di sisi lain, usia yang terlalu dini untuk menikah juga bisa menjadi penyebab dari ketidaklanggengan hubungan pernikahan. Pasalnya, ketika usia seseorang belum dewasa bakal sulit bagi orang tersebut untuk memaklumi kekurangan orang lain. Apalagi, kondisi emosi dan psikologis para remaja yang notabene belum cukup umur untuk menikah masih belum stabil dalam menyikapi hubungan keluarga.

Berdasarkan catatan dari Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2021 ada sebanyak 59.709 dispensasi pernikahan dini oleh pengadilan. Angka tersebut mengalami penurunan daripada tahun 2020. Pada tahun tersebut permohonan dispensasi ada sebanyak 64.211 kasus. Namun, angka tersebut tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 23.126 kasus dispensasi pernikahan dini.

"Coba bayangkan ada anak laki-laki ada anak laki-laki berusia 18 tahun menikah dengan perempuan berusia 16 tahun, itu kan masih emosional semua pola pikir dan psikologis mereka. Sehingga latar belakang seperti itu pun juga menjadi salah satu penyebab (banyaknya kasus perceraian) saya kira," jelas Hasto ketika dihubungi, Senin (15/5/2023).

Baca juga: Siang Ini, PDIP Akan Umumkan Bacakada Tahap Ketiga!

Ketika ditanya mengenai dikabulkannya dispensasi pernikahan oleh pengadilan, Hasto menyebut pengadilan terpaksa memberikannya karena mayoritas yang mengajukan yakni pasangan perempuan yang hamil duluan. Apabila dilihat dari hal tersebut, dia mengatakan bahwa ada pergaulan bebas yang tidak terkendali serta minimnya edukasi seksual di kalangan remaja sejak dini lantaran dianggap hal yang tabu.

"Oleh karena itu kami pun terus melakukan sosialisasi terhadap keluarga yang memiliki anak remaja kalau mau menikah, usia yang sehat itu ada umur 21 untuk perempuan dan 25 untuk lelaki. Ada juga program duta Generasi Berencana mengenai pentingnya pendidikan dan kesehatan reproduksi dan yang lainnya," ucap Hasto.

Berbeda dengan Hasto, Psikolog Adi Dinardinata menyebut bahwa meski memiliki peran penting dalam rumah tangga, namun tingkat kedewasaan bukanlah faktor utama penyebab perceraian. Dia menilai bukan usia yang berpengaruh, tetapi keterampilan pasangan dalam membina hubungan yang baik saat terjadi percekcokan.

"Di masyarakat kita juga ada banyak kesalahpahaman mengenai sebuah hubungan. Misal, ketika pasangan berantem mereka direkomendasikan untuk quality time bareng, padahal yang membuat pernikahan kuat dan lemah bukan dengan banyaknya waktu yang dihabiskan bersama tapi proporsi positif dan negatifnya," kata Adi kepada Optika.id, Senin (15/5/2023).

Baca juga: Anies Puji PDIP Konsisten: Penjaga Konstitusi Sama dengan Penjaga Negara!

Lebih lanjut, dia menjelaskan jika mayoritas mereka yang pernikahannya kuat yakni proporsi positifnya lima kali lebih banyak dibandingkan dengan proporsi negatifnya. Sehingga, ketika hubungan sudah mulai renggang, maka setiap pasangan bisa lebih menyadari dan memahami jika mereka saling membutuhkan satu sama lain.

"Jadi bukan waktu bersama yang penting, melainkan lebih ke apresiasi positifnya yang diperbanyak. Ini pun bisa diterapkan pada pasangan yang LDR aliaslong distance relationship, karena hal tersebut juga membuat mereka jadi lebih percaya satu sama lain," ujar Adi.

Adi tak menampik bahwa perceraian bisa menjadi satu-satunya jalan terakhir apabila segala upaya terbaik sudah dilakukan oleh pasangan. Akan tetapi, jika belum melakukan upaya terbaik itu, maka dia menyarankan pasutri untuk memikirkan kembali tindakan yang akan diambil sebab bisa berdampak tidak hanya pada keduanya, melainkan orang-orang disekitarnya, termasuk anak apabila mereka sudah memiliki anak.

"Tantangan perkembangan anak ini kan banyak. Dirawat berdua saja itu nggak mudah, apalagi sendiri. Tak hanya itu, anak yang berasal dari keluargabrokenitu biasanya juga membutuhkan penanganan khusus, karena mereka memang tidak mendapat perhatian dari orang tuanya dan tentu bakal berdampak pada tumbuh kembangnya kelak," tutur Adi.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru