Optika.id - Dialog tentang nasionalisme Indonesia seolah tak kunjung usai. Apalagi mendekati tahun-tahun pemilu. Wacana nasionalisme tiada henti-henti ditafsirkan, bahkan kerapkali disisipi maksud politis dan agenda tertentu. Seakan wacana nasionalisme bagian dari kehendak rezim.
Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?
Rezim Orde Baru mengubur wacana nasionalisme Orde Lama yang lebih mengedepankan peran sipil atau negarawan ketimbang militer.
Di bawah rezim Orde Baru, pengaruh militer melambung, sedangkan peran sipil dalam sejarah Indonesia meredup. Akibatnya, sebagian besar masyarakat Indonesia mempercayai bahwa kemerdekaan tidak dapat tercapai tanpa perjuangan fisik.
Perjuangan fisik seolah-olah solusi kemerdekaan Indonesia yang paling konkret, sedangkan gambaran perjuangan sipil melalui diplomasi maupun negoisasi tampak rumit, dan mendefinisikan keberhasilannya sangat sulit, terlebih untuk murid sekolahan. Akan tetapi, sesungguhnya perjuangan militer juga mengalami kerumitan yang sama dengan perjuangan sipil.
Pasca Perang Revolusi Fisik (Agresi Militer Belanda), dalam kubu militer terjadi banyak pergolakan internal yang ditafsirkan sebagai masalah eksternal. Berbagai pemberontakan dan aksi-aksi kerusuhan bersumber dari ketidaksanggupan pihak militer dalam mengorganisir laskar-laskar rakyat (para-militer). Namun, rezim Orde Baru telah menggarap narasi sejarah Indonesia dengan baik, sehingga penulisan sejarah mengenai hal itu baru muncul setelah Reformasi.
Berbalik ke masa Orde Lama, Soekarno pernah menganugerahi gelar Bapak Nasionalisme Indonesia kepada pejuang sipil dari kaum Indis, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. Indis (Indo, Indisch) mengacu pada sifat ke-Hindia Belanda-an yang terwujud dalam kebudayaan hibrida yang merupakan campuran Barat-Belanda dan Timur-Jawa. Kaum Indis mendukung kebudayaaan Indis dan Ernest F.E. Douwes Dekker atau Danudirdja Setiabudhi bagian darinya.
Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa
Menurut Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis; Dari Zaman Kompenie Sampai Revolusi, dikutip Optika.id Kamis, (18/5/2023) persona Ernest F.E Douwes Dekker tidak terlepas dari kehidupan masa kanak-kanaknya. Selazimnya anak-anak dari keluarga Indis, ia diasuh para babu atau jongos yang juga merangkap sebagai pembantu rumah tangga. Kultur masyarakat Indis dan pendidikan Barat inilah yang mempengaruhi pandangan dunia seorang Ernest F.E Douwes Dekker.
Pradipto Niwandhono dalam bukunya yang berjudul Yang Ter(di)lupakan; Kaum Indo dan Benih Nasionalisme Indonesia pun menulis bahwa Ernest F.E Douwes Dekker tumbuh menjadi pemuda yang idealis. Ernest F.E Douwes Dekker diberhentikan, oleh atasannya R. Jesse, setelah membela pekerja perkebunan kopi Sumber Duren di kaki Gunung Semeru yang dieksploitasi. Karir keduanya sebagai pegawai laboratorium di pabrik gula Pajarakan, Probolinggo, juga tumbang karena ia memprotes kecurangan dalam pembagian air irigasi antara sawah milik warga pribumi dan perkebunan tebu kolonial. Episode berikutnya, Ernest F.E Douwes Dekker mendaftakan diri sebagai sukarelawan dalam Perang Besar Boer yang terjadi antara tahun 1899-1902.
Samuel Williard Crompton dalam 100 Peperangan Yang Berpengaruh Di Dalam Sejarah Dunia mencatat bahwa orang-orang Calvinis Belanda membangun koloni permanen di Capetown, Afrika Selatan semenjak tahun 1652, nantinya mereka dikenal sebagai kaum Boer. Sepanjang abad ke-19, secara berangsur-angur Inggris menjarah wilayah kekuasaan kaum Boer. Serangkaian peperangan sengit memuncak pada 1899, Ernest F.E Douwes Dekker bergabung dalam kekuatan Boer dibawah komando Piet Conje, Louis Botha, dan Jacobus De La Rey. Perjanjian Vereeniging mengakhiri perang, kaum Boer mengakui kedaulatan Inggris, sebagai gantinya memperoleh kompensasi kerugian perang dan hak istimewa.
Baca juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel
Menyaksikan langsung Perang Boer, pandangan dunia Ernest F.E Douwes Dekker semakin terbuka. Penemuan emas di negara bagian Boer, Transvaal, menggambarkan eksploitasi sumber daya yang mendorong kolonialisme. Konflik agraria atau pertanahan pun terjadi, orang-orang Boer mempertahankan tanah leluhurnya dari ekspansi Inggris yang merangsang nasionalisme. Cara Inggris menuntaskan konflik dengan Boer bagi Ernest F.E Douwes Dekker bisa diterapkan di negeri jajahan Hindia Belanda.
Gagasan Ernest F.E Douwes Dekker tentu tidak digubris karena terlampau radikal jika dilihat dalam konteks pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad ke-20. Pemerintah kolonial Belanda sangat konservatif dan penuh pertimbangan, terutama bila menyinggung dana dan isu diskriminasi ras yang Ernest F.E Douwes Dekker usung dalam berbagai opininya di surat kabar. Di sisi lain, Ernest F.E Douwes Dekker mendobrak nasionalisme Indonesia, yang tanpa memandang etnis, suku dan ras, terpenting lahir dan menghuni tanah Hindia Belanda.
(Ernest) Douwes Dekker sendiri telah sering memberi penekanan pada pembaca Indo-nya bahwa mereka akan berkhianat pada ibu Jawa mereka jika mengambil sikap superior (congkak ala Eropa) tersebut. Oleh karenanya, ia mendesak khlayak Indo untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai orang-orang Hindia (de Indiers), tempat mereka lahir dan dibesarkan, tulis Pradipto Niwandhono dalam buku Yang Ter(di)lupakan; Kaum Indo dan Benih Nasionalisme Indonesia.
Editor : Pahlevi