Optika.id - Sabung ayam adalah sejenis permainan adu ketangkasan. Akan tetapi, bidak dalam permainan sabung ayam bukanlah manusia, melainkan ayam jago yang memiliki taji. Perkelahian ayam jago yang merangsang sorak-sorai penontonnya ini acapkali melibatkan unsur perjudian. Meskipun demikian, adat kebiasaan menyabung ayam tetap lestari hingga kini.
Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa
Asal usul sabung ayam di Nusantara masih misteri. Adanya sabung ayam berkaitan erat dengan naluri manusiawi untuk mencari hiburan. Akan tetapi, sabung ayam tidak hanya sekedar mencerminkan hiburan semata, melainkan juga kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.
Permainan adu ketangkasan berurat akar dari tradisi maskulinitas yang menghargai kekuatan, keberanian dan kekuasaan. Sabung ayam sesungguhnya hampir serupa dengan permainan kuno berjenis laga lainnya, seperti gladiator yang mempersembahkan pertarungan antara budak dan prajurit atau manusia dengan binatang buas. Oleh karena itu, kerapkali permainan sabung ayam merambah ranah politik sebagaimana gladiator.
Hal itu tercermin dalam cerita panji, Cindelaras, dikisahkan seorang raja Jenggala menatang ayam sakti milik Cindelaras dengan pertaruhan yang besar. Seperti halnya cerita-cerita panji umumnya yang menggambarkan stagnansi mobilitas sosial dalam masyarakat agraris Jawa, kisah Cindelaras juga demikian, pertaruhan Cindelaras tergantung pada ayam jagonya. Cindelaras akan dikirim ke tiang gantung dan kepalanya dipancung jika ayam jagonya kalah sedangkan apabila ayam jago Cindelaras menang, raja wajib menyerahkan separuh harta kekayaannya.
Cerita panji lainnya ialah tentang tragedi terbunuhnya Prabu Anusapati saat sedang menyaksikan sabung ayam dan Ciung Wanara yang memaparkan secara eksplisit pertaruhan nasib dalam sabung ayam. Bahkan cerita-cerita panji yang mengabarkan hiburan sabung ayam juga terdapat dalam kisah Seribu Satu Malam.
Philip K. Hitti dalam bukunya History of the Arabs menulis bahwa Khalifah Harun ar-Rasyid menggandrungi sabung ayam, bahkan, memperkerjakan pelatih adu ayam dan memberi makan ayam peliharaan dengan kacang almond dan kenari serta susu untuk minumnya. Akan tetapi, tradisi sabung ayam lebih eksis di daerah kepulauan Nusantara.
Menengok perseteruan antara kaum religius, Padri, dan kaum adat di Sumatera Barat pada paruh pertama abad ke-19, sabung ayam juga disebut-sebut sebagai tradisi yang melanggar syariat Islam. Selain dari pulau Sumatera, di pulau Dewata Bali, sabung ayam tercatat dalam lontar Siwa Tattwapurana sebagai bagian dari serangkaian ritual keagamaan. Di Sulawesi Selatan, tepatnya merujuk pada keterangan kitab La Galigo yang mengisahkan kegemaran Sawerigading terhadap sabung ayam. Pada sekitar pertengahan abad ke-16, sabung ayam juga mengisi acara kunjungan resmi raja Gowa ke kerajaan Bone.
Kebiasaan Sabung Ayam dalam Pandangan Barat
Orang-orang Barat menganggap sabung ayam sebagai kebiasaan aneh masyarakat pribumi di kepulauan Nusantara. Peradaban Barat tidak mengenal permainan sabung ayam, maka mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh. Perjumpaan peradaban Barat dan Timur seringkali menimbulkan gesekan-gesekan yang mengandung muatan politis.
Baca juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel
Edward Said dalam bukunya Orientalisme dikutip Optika.id, Jumat (29/5/2023) membedah bagaimana orang-orang Barat memandang dunia Timur yang eksotis, unik dan mengundang rasa penasaran. Atas dasar itulah, orang-orang Barat gemar mengumpulkan informasi atau mengkoleksi barang antik dari Timur.
Mulanya tradisi sabung ayam diperkenalkan para penjelajah Eropa yang mengkhususkan penulisan laporan pengamatan atas kehidupan masyarakat Timur. Para penjelajah Eropa yang asing dengan tradisi semacam itu mengomentarinya seakan aneh bagi bangsa Eropa dan budaya Barat.
James R. Rush dalam Jawa Tempoe Doeloe; 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985 menyebut bahwa ada seorang penjelajah berkebangsan Italia yang mencapai pulau Jawa pada 1444 terpikat hiburan sabung ayam, penjelajah bernama Nicolo Conti itu menuliskan deskripsi tentang sabung ayam bersama kebiasaan-kebiasaan orang Jawa lainnya, tentunya yang ia anggap aneh. Berdasarkan pengamatan Nicolo Conti, sabung ayam merupakan hiburan paling digemari orang Jawa, pertandingan adu sabung bergemuruh dengan sorak-sorai penonton dan diselimuti atmoster ketegangan akibat dari pertaruhan.
Selain Nicolo Conti, Francois Leguat yang terpaksa menetap di Batavia pada 1708 menyingkap kebiasaan aneh orang Jawa dari menguyah sirih, ramuan cinta hingga permainan sabung ayam. Francois Leguat mendeskripsikannya ulang, bahkan lebih detail daripada Nicolo Conti. Ia menulis gambaran umum orang Jawa terkait tradisi sabung ayam, seperti tata cara mengembangbiakkan ayam jago, mempersenjatai ayam dengan taji tajam dari besi, aturan main, strategi, biaya menonton, perbandingan budaya Jawa dengan di Inggris serta alam pikir orang Jawa terhadap permainan sabung ayam.
Sementara dalam buku Bernard Dorleans berjudul Orang Indonesia & Orang Perancis; Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX menjelaskan pengelana berkebangsaan Perancis lainnya lebih sering merekam aktivitas sabung ayam di sekitar kepulauan Melayu. Kesaksian Francois de Vitre selama menetap di pulau Sumatera pada 1601 mengabarkan bahwa raja Pedir gemar menyaksikan sabung ayam. Masing-masing bangsawan mempunyai seekor ayam jantan andalan untuk diadu dalam arena sabung ayam. Seperti kebiasaan umumnya dalam sabung ayam, status dan kelas sosial dipertontonkan dalam ajang taruhan.
Baca juga: Seberapa Serius Pemerintah Tangani Korban HAM 1965?
Pada hari Rabu, 10 Maret 1621, Augustin de Beaulieu, pengelana berkebangsaan Perancis lainnya, bersama syahbandar memasuki istana kerajaan Aceh. Augustin de Beaulieu mengantarkan hadiah upeti kepada raja demi mendapat ijin membeli lada dari penduduk setempat, namun, ia justru terabaikan. Raja Aceh terlampau menggemari sabung ayam, ayam-ayamnya lebih menyita perhatian daripada urusan perniagaan.
Oleh karena itu, ketika ayam jantan andalan raja kalah dalam arena sabung ayam, maka raja murka dan mencari kambing hitam. Augustin de Beaulieu menceritakan betapa bengisnya raja itu, bahkan menghukum orang yang tak bersalah untuk melampiaskan kekesalannya. Mulanya raja menyalahkan ayamnya yang salah makan, lalu memerintahkan algojo untuk memotong tangan pemenang sabung ayam, ia menyiksa dan membunuh semua wanita beserta wanita penjaga di istananya karena tidak dapat tidur sebab masih terbayang-bayang akan kekalahannya dalam sabung ayam. Puncaknya, ia membunuh keponakannya sendiri, putra raja Johor.
Kesaksian demi kesaksian pengelana Eropa serupa dengan cerita panji dan kisah-kisah sabung ayam lainnya yang berdampak, bahkan mempengaruhi perpolitikan pada masa lampau. Sabung ayam juga tergolong permainan egaliter yang tidak memandang kelas sosial, daribangsawan dan keluarga kerajaan maupun rakyat jelata, semua dapat membaur. Sabung ayam merupakan hiburan rakyat yang juga dinikmati kaum ningrat. Fenomena yang cukup unik, atau mungkin aneh bagi kacamata orang Eropa.
Permulaan abad ke-20, banyak ditemukan foto sabung ayam dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Seperti halnya semangat menggali informasi dan mengkoleksi barang untuk dari dunia Timur yang dianggap eksotis, fotografer Eropa mulai memburu dan mengabadikan momen sabung ayam. Para fotografer menjual foto-foto kegiatan sabung ayam untuk keperluan komersial. Di era itu, citra foto menjembatani perbedaan budaya antara Barat dan Timur yang merangsang keingintahuan karena dianggap aneh.
Editor : Pahlevi