Generasi Muda Enggan Lanjut Sekolah Tinggi, Bukti Kegagalan Program Pemerintah?

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Minat generasi muda untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sebenarnya mengalami peningkatan. Akan tetapi, saat ini ada gap yang terjadi antara institusi pendidikan dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Oleh sebab itu, generasi muda sekarang seolah tidak mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di sisi lain, adanya anggapan bahwa biaya yang dikeluarkan terlalu mahal.

Baca juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional

Hal tersebut dikatakan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Menurutnya, faktor keengganan tersebut yakni institusi pendidikan yang gagal menyediakan sarana dan prasarana yang mumpuni, hingga mahalnya biaya pendidikan.

Lebih lanjut, mahasiswa saat ini memiliki mindset bahwa kuliah hanya sebatas mendapatkan ijazah yang bisa digunakan untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh sebab itu, mereka hanya terfokus pada mengejar hal-hal yang sifatnya industrialis alih-alih fokus mencari ilmu dan upgrade skill yang lebih mumpuni.

"Saat melanjutkan pendidikan, anak-anak ini punya keinginan apa, tapi di sekolah menunya apa. Jadi enggak ketemu antara institusi pendidikan dan masyarakat" kata Ubaid dalam keterangannya, Senin (22/5/2023).

Ubaid menyebut, kementerian terkait pun sebenarnya sudah mencari solusi perihal program masalah pendidikan saat ini. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa program tersebut diatur oleh segelintir elit di pusat tanpa berbasis data konkrit di lapangan yang memiliki kultur pendidikan dan ekosistem yang beragam. Oleh sebab itu, dia menegaskan bahwa program yang diinisiasi tersebut gagal namun tidak ditampilkan secara gamblang. Padahal, dampaknya nyata dan sudah bisa dirasakan

Program tersebut menurut Ubaid terlihat unggul dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa saat dipresentasikan di level global. Akan tetapi, ketika diimplementasikan di lapangan, program tersebut tidak berguna karena tidak dapat mengatasi berbagai permasalahan lantaran tidak menyentuh akar rumput.

" Hanya dijalankan oleh segelintir elit tanpa melihat pokok permasalahan yang ada.Sehingga apa yang dirasakan peserta didik, orang tua dan juga guru dengan kurikulum dan program yang berubah-ubah dari pemerintah pusat itu tidak berdampak secara signifikan di level peserta didik," ucapnya.

Apabila tidak segera ditangani dengan tepat maka problem pendidikan tersebut akan berlarut-larut. Pasalnya, hal ini akan terus diwariskan oleh pemerintah di periode selanjutnya lantaran problem utamanya tidak bisa dijadikan sebagai program prioritas untuk mengentaskan masalah pendidikan dan sudah dianggap usang.

Misalnya saja, program asesmen nasional yang menggantikan ujian nasional (UN). Menurut Ubaid, dari hasil asesmen tersebut sudah jelas menunjukkan bahwa tingkat literasi dan numerasi masyarakat masih rendah. Akan tetapi, pemerintah malah melakukan inovasi tak guna lainnya dengan menggunakan program Merdeka Belajar yang merupakan program milik sekolah-sekolah elite swasta di Jakarta.

Baca juga: Merdeka Mengajar Bakal Diberhentikan Anies, Ada Masalah Apa?

"Dan program ini diterapkan di sekolah-sekolah di daerah yang dari segi kualitas, infrastruktur itu jauh dari apa yang ada di Jakarta, sehingga gurunya enggak mendukung, sarana dan ekosistemnya pun juga enggak mendukung," papar Ubaid.

Lebih lanjut, Ubaid menuturkan seharusnya pemerintah tidak hanya mencari output dari program-program yang dibuatnya sendiri. Alih-alih demikian, pemerintah seharusnya memperhatikan dampak terhadap peserta didik termasuk bagaimana cara membangun sikap dan wacana kritis mengenai pelajaran yang didapat oleh mereka.

Tak hanya itu, dia mengimbau kepada para pendidik agar tak sekadar ikut-ikutan untuk mengupload materi pembelajarannya di medsos. Dia menilai apabila sebatas hal tersebut dilakukan, maka hanya akan menggugurkan kewajiban mereka dan mereka tidak sadar dengan hasilnya. Program tersebut seolah hanya menjadi beban berat dari pusat ke daerah untuk mengerjakan pekerjaan rumah pendidikan yang tak pernah tuntas ini.

Kendati demikian, Ubaid menilai jika pemerintah berhasil dalam membangun infrastruktur secara fisik namun terkait dengan karakter dan moralitas sumber daya manusianya masih gagal. Oleh karena itu, permasalahan terkait seluk beluk pendidikan sebenarnya bersumber dari institusi pendidikan itu sendiri.

Baca juga: Kemendikbud Buka Rekrutmen Penerjemah Semua Lulusan Bisa Daftar

"Dari refleksi JPPI tahun 2022 itu banyak hal buruk justru terjadi di institusi ini," papar Ubaid.

Diantaranya Ubaid merinci yakni tren korupsi hingga kekerasan di sekolah yang justru mengalami peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Bahkan, mayoritas pelakunya justru tenaga pendidik yang didominasi dengan kasus kekerasan seksual terhadap peserta didik.

Peningkatan kasus tersebut sejalan dengan data yang dilansir oleh Lembaga Saksi dan Korban (LPSK). Pada tahun 2022, ada peningkatan permohonan perlindungan kasus kekerasan sebesar 25,82% atau sebanyak 536 kasus. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 426 kasus.

"Jadi, ini harus terus dimonitoring dan dievaluasi, karena banyak institusi pendidikan yang tumbuh tapi tidak dikoreksi dengan tajam, terutama mengenai amanat UU 45 yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya," pungkas Ubaid.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru