PR Bersama Mencari Pendidikan untuk Si Miskin

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Permasalahan kesenjangan sosial yang berpengaruh ke pendidikan merupakan pekerjaan rumah yang masih belum tuntas di negeri ini. Menurut Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, ada dua faktor yang mempengaruhi mengapa keluarga miskin sulit menggapai jenjang pendidikan yang tinggi.

Baca juga: Tim RB nasional Gelar FGD, Validasi Keberhasilan Program Pengentasan Kemiskinan!

Hal yang pertama, access barrier dan yang kedua process barrier. Dalam faktor access barrier, Rissalawan menjelaskan salah satunya terkait dengan tingkat gizi di kalangan keluarga miskin yang rendah dan tidak mendapatkan perhatian dari dinas setempat.

Kekurangan gizi bisa menghambat anak dari keluarga miskin untuk bersaing dengan anak-anak yang memperoleh gizi lebih baik, kata Rissalwan kepada Optika.id, Senin (22/5/2023).

Kemudian dalam process barrier, terkadi ketika anak-anak dari keluarga kurang mampu tersebut memasuki usia sekolah. Namun, terhambat dalam biaya untuk ongkos aktivitas sosial dan lain sebagainya.

Misalnya, dia mencontohkan, anak tersebut harus ikut kegiatan kerja kelompok, kemudian karena dia tidak mampu, dia dirundung oleh teman-temannya sehingga dia memilih untuk drop out saja. Dia menilai, anak-anak orang miskin relative gampang menjadi korban perundungan dari lingkungan sekitarnya.

Kendati demikian, Rissalwan menjelaskan sebenarnya keluarga miskin tersebut tetap memperhatikan pendidikan anaknya dan menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Akan tetapi, mereka merasa sudah tak bisa lagi menghadapi berbagai realita dan hambatan yang mendampinginya sehingga memilih untuk menyerah.

Kalau ketemu anak kecil di jalanan yangngamen, ditanya kenapangamen. Pasti jawabannya untuk (biaya) sekolah. Artinya,back mindorang-orang miskin menempatkan sekolah sebagai cara mereka untuk keluar dari kemiskinan. tuturnya.

Hal menarik kemudian dipaparkan oleh Rissalwan. Dia mengamati bahwa persentase drop out mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi (sekarang KIPK) yang berasal dari keluarga kurang mampu tergolong tinggi. Dia menilai jika hal tersebut ada andil dari beasiswa itu sendiri.

Bidikmisi semakin ke sini persyaratannya makin berat. Kalau dulu, miskin saja cukup. Sekarang, harus aktif organisasi, IPK tidak boleh kurang dari sekian poin, ujarnya.

Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa harus ada pemberian prioritas kepada kalangan yang tak mampu. Hal ini bertujuan agar persoalan pendidikan pada keluarga miskin bisa teratasi dengan baik. pasalnya, kondisi anak-anak yang berasal dari kaum ekonomi bawah ini tidak memiliki kemudahan akses dan privilese seperti anak-anak yang berasal dari kelompok kaya.

Misalnya, anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa mengakses bimbingan belajar untuk masuk ke perguruan tinggi pasca lulus dari SMA. Mereka yang tidak memiliki biaya untuk membayar bimbel tersebut lebih memilih bekerja membantu orang tua untuk mencari penghasilan tambahan.

Baca juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah

Jadi, semakin tinggi (jenjang pendidikan) dia akan semakindropkarena semakin usianya naik, dia semakin punya tanggung jawab besar untuk membantu keluarganya menambah penghasilan, ucapnya.

Lebih lanjut menenkan jika akar dari permasalahan tersebut adalah kemiskinan. Dia mengingatkan kepada pemerintah dan pihak terkait untuk mengikis kemiskinan apabila ingin angka data dari rendahnya pendidikan keluarga miskin berubah dan anak usia produktif bisa mendapatkan pendidikan tinggi.

Senada dengan Rissalwan, Sosiolog asal Universitas Gadjah Mada (UGM), Andreas Budi Widyanta alias Abe menjelaskan jika pendidikan untuk keluarga miskin bukan Cuma soal biaya saja. Dia tidak menampik upaya pemerintah yang sudah mendorong wajib belajar 12 tahun dan menjalankan program afirmatif lainnya seperti Bidikmisi dan Kartau Indonesia Pintar.

Menurutnya, kegagalan pemerintah yakni gagal mengendus secara holistic mengenai latar belakang keluarga murid itu sendiri.

Kendati bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) sudah lama eksis di negeri ini, Abe menilai hal itu hanya bersifat parsial saja. Pasalnya, problem keluarga miskin harus dikalkulasi secara menyeluruh. Sebabnya, meskipun pemerintah sudah menetapkan kebijakan dengan menggratiskan biaya sekolah, namun keluarga miskin ini tetap tidak mampu menanggung biaya hidup lainnya.

Oleh sebab itu, dirinya menyarankan agar kemiskinan segera diselesaikan, selain memberikan akses sekolah. Belum lagi, PR untuk menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi.

Baca juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional

Jauh lebih besar kue pembangunannya dinikmati oleh kelas menengah ke atas ketimbang mereka yang miskin. Kalau (keluarga) miskin mungkin hanya diberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai), yang bersifat karitatif, ujar Abe, Senin (22/5/2023).

Saat ini, menurutnya penting untuk memberikan peluang bagi keluarga miskin untuk bisa mengakses ekonomi produktif di lingkungan tempat tinggalnya. Di sisi lain, pemerintah perlu memberlakukan kebijakan afirmatif yang bisa menempatkan keluarga miskin sebagai prioritas dalam mengakses sumber-sumber ekonomi produktif.

Kalau mereka hanya diberi tunjangan yang sangat terbatas dan kecil, apakah itu BLT atau PKH, pasti tidak akan pernah mengalami transformasi ekonomi keluarga yang signifikan. Paling hanya bisa bertahan hidup saja, jelasnya.

Abe yakin, jika jalan mengentaskan kemiskinan masih stagnan pada program lawas maka pendidikan hanya jadi prioritas yang kesekian kali untuk keluarga miskin. Anak sekolah usia sekolah cepat atau lambat akan diminta untuk membantu orang tuanya mencari nafkah segera setelah lulus dari jenjang sekolah menengah.

Sehingga tingkat pendidikannya paling tinggi hanya SMP atau SMA, pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru