Optika.id - Menjelang tahun pemilu, masyarakat pasti sudah tidak asing dengan politisi yang bagi-bagi duit alias melakukan praktik politik uang. Cara ini merupakan cara yang kuno dan terjadi ketika masyarakat masih abai dengan proses demokrasi yang jujur.
Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!
Perkembangan teknologi dan informasi yang kian pesat saat ini di sisi lain membuat masyarakat bisa mengakses informasi dan bisa berpikir kritis dengan keadaan yang ada sehingga praktik politik uang merupakan praktik usang yang seyogyanya sudah ketinggalan zaman dan memang patut ditinggalkan.
Oleh sebab itu, guru besar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Muhammad Fauzan mengapresiasi adanya beberapa upaya dari kelompok masyarakat untuk mengganti politik uang dengan kontak politik. Hal ini menurutnya penting karena politik uang kerap membuat wakil rakyat yang tak berkualitas bisa lolos dan melenggang ke parlemen.
"Saya melihat mereka (warga yang menolak politik uang) seperti semacam oase di padang tandus. Politik uang yang semakin memburuk ini sudah begitu parah," kata Fauzan kepada Optika.id, Senin (12/6/2023).
Kendati dirinya mengapresiasi upaya tersebut, dia juga menjelaskan bahwa upaya menggerus politik uang tak akan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Kendala ini disebabkan lantaran karakter pemilih di Indonesia yang masih belum ideal dan mudah dibuai oleh politikus dengan janji manisnya.
"Orang itu memilih bukan karena mencari atau melihat program kerja, tapi karena kedekatan. Hal-hal yang sifatnya masih sangat-sangat simpe, seperti karena ada hubungan darah atau pertemanan. Kemudian, (warga) mungkin diberikan sesuatu atau (politikus) menjanjikan sesuatu," ujar Fauzan.
Kendala lain yang jadi perhitungan yakni kontrak politik yang disepakati oleh rakyat dengan caleg atau capres atau mereka yang berlaga di Pemilu ternyata tidak begitu bertaji alias bisa dibatalkan begitu saja ketika mereka telah terpilih. Ironisnya, tidak ada sanksi hukum yang menjerat penguasa terpilih yang lalai dalam menjalankan kontrak politik.
"Kontrak politik hanya soal etik. Ketika dia tidak menjalankan, paling dia tidak dipilih lagi," jelasnya.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Oleh sebab itu, Fauzan mengusulkan agar kontrak politik bisa diformalisasi dalam aturan kepemiluan sehingga penguasa yang terpilih tidak mengingkari apa yang telah disepakati sebelumnya.
Misalnya, sebagai preseden dirinya mencontohkan terkait aturan kontrak politik antara kepala daerah terpilih dengan rakyat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Bedanya, aturan itu berlaku untuk format pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Fauzan menjelaskan jika dalam UU tersebut sudah mengatur mengenai pemberhentian kepala daerah apabila mengalami krisis kepercayaan publik. misalnya, apabila publik sudah tidak percaya dengan dirinya dan kebijakannya, publik melakukan demo berkali-kali, maka bisa diusulkan untuk diberhentikan.
Inilah cermin dari demokrasi yang sebenarnya. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat yang berkuasa, mereka hanya wakilnya saja, tegas Fauzan.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Terkait regulasi serupa, imbuhnya, maka bisa disusun serta diberlakukan untuk para caleg maupun capres yang terikat kontrak politik dengan konstituen. Di sisi lain dia mengingatkan agar formalisasi kontrak politik dalam regulasi tersebut harus dibahas secara matang dan mendetail agar tidak ada bagian yang terlewatkan.
Ia mencontohkan frasa kepercayaan publik dalam UU Pemda yang potensial disalahartikan.
"Krisis kepercayaan publik itu harus diukur karena nanti dikhawatirkan ada perusahaan ataubohiryang mengerahkan massa untuk demo. Masyarakat disuruh demo tiap hari untuk menunjukkan krisis kepercayaan publik. Ini mudharat dari aturan itu," ucapnya.
Editor : Pahlevi