Optika.id - Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) masih mempersoalkan aturan-aturan terkait Pemilu. Salah satunya yakni skema penentuan nomor urut caleg berbasis abjad yang diadopsi sejumlah parpol. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan apabila parpol membuka praktik "lelang" nomor urut cantik kepala caleg yang berkantong tebal.
Baca juga: Meneropong Pilkada Sidoarjo: Ujian Kepercayaan Publik
"Pada Pasal 243 Undang-Undang (Nomor 7 tahun 2017 tentang) Pemilu disebutkan bahwa bakal calon itu disusun dalam daftar bakal calon oleh partai politik itu berdasarkan nomor urut. Jadi, memang harus ada nomor urutnya, bukan berdasarkan alfabet," kata Nisa, kepada Optika.id, Senin (12/6/2023).
Menurutnya, skema nomor urut berbasis abjad jika dilihat dari UU Pemilu juga bisa merugikan para caleg perempuan. Pasalnya, beleid itu menyebut bahwa calon perempuan harus ada di antara tiga calon yang telah ditetapkan oleh parpol pengusungnya. Maknanya, caleg perempuan wajib mengantongi setidaknya satu nomor urut teratas dalam Daftar Calon Sementara (DCS) atau Daftar Calon Tetap (DCT).
"Semisal berdasarkan alfabet. Yang abjad atas laki-laki semua. Artinya, perempuan enggak ditempatkan salah satu di antara tiga. Padahal, nomor urut tadi juga untuk melindungi perempuan agar tidak ditempatkan nomor-nomor yang bawah," ucap Nisa.
Kendati demikian, Nisa tak menampik apabila nomor urut cantik selalu menjadi incaran. Berkaca pada setiap gelaran pemilu, khususnya Pemilu 2019 kemarin, sekitar 60leg yang lolos ke Senayan merupakan caleg dengan nomor urut cantik alias teratas.
Nisa menilia jika banyaknya caleg yang lolos ke Senayan akibat nomor cantiknya itu terjadi lantaran pemilih tidak diberikan informasi yang utuh soal para calon yang ada di Pemilu. Sehingga, pemilih membayangkan jika mereka yang berada di nomor urut teratas adalah mereka yang dianggap terbaik padahal bisa jadi yang memiliki kapasitas itu ada di nomor 10, 11 atau sesudahnya.
"Kadang orang-orang tua (lansia) juga enggak mau ribet ya, jadi asal coblos aja yang sesuai dengan partainya atau ada faktor lainnya, ucap Nisa.
Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!
Selain memicu praktik transaksional, penetapan nomor urut secara alfabetis ini juga bisa menimbulkan sengketa pemilu di kemudian hari. Alhasil, tahapan pemilu yang seharusnya lancar-lancar saja, menjadi kian rumit dan memakan waktu.
Gugatan bisa datang dari caleg yang tidak terima nomor urutnya diganti setelah perubahan dari urutan abjad," tutur Nisa.
Dia melanjutkan bahwa salah satu faktor yang membuat repot persiapan logistic KPU terkait hal ini adalah PKPU Pencalegan lantaran bisa memberi peluang penggantian nomor urut dan dapil.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Hal itu terjadi lantaran data caleg yang dikirim oleh parpol bisa terus berubah hingga mendekati penetapan DCT dan memberi beban lebih ke KPU.
Oleh sebab itu, Nisa mendesak agar KPU segera merevisi regulasi yang mengatur soal pencalegan dengan segera. Selain perkara nomor urut, dia juga mempersoalkan terkait penghapusan syarat pelaporan LHKPN bagi caleg serta diizinkannya napi eks koruptor untuk mencalonkan diri lagi tanpa masa jeda selama lima tahun.
"Jadi, ada beberapa catatan di PKPU Pencalegan. Ini, menurut saya, di ruang gelap pemilu kita. Ketika proses dengan masyarakat, yang seperti (aturan) tidak perlu jeda kepada koruptor itu, enggak muncul (dalam pembahasan). Maka, ketika ditetapkan, tiba-tiba ketentuan itu ada. Jadi, perlu direvisi," urai Nisa.
Editor : Pahlevi