Optika.id - Hari ini, Kamis (15/6/2023), putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ditunggu sebagian besar masyarakat Indonesia. Coblos parpol (partai politik) atau sistem proporsional tertutup atau coblos caleg (proporsional terbuka)? Mulai dari parpol, paling berkepentingan, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, jurnalis, buruh, dan kelompok masyarakat lainnya menunggu akrobatik MK.
Baca juga: Junimart Minta Semua Pihak Hormati Keputusan MK Soal Sistem Proporsional Terbuka
Menurut Dr Abdul Aziz SR sebenarnya sejak rezim Orba (Orde Baru) hingga pileg 2004 pakai coblos parpol. Ditambah pemilu 1955, hanya saja masyarakat bisa usung parpol, organisasi non parpol, dan perorangan sehingga dinilai sangat demokratis. Sepanjang 32 tahun rezim Orba rakyat dipaksa mengesahkan pilihan oligarki parpol melalui pemilu, urainya kepada Optika.id lewat WhatsApp, Kamis (15/6/2023).
Dari pemilu ke pemilu jadi semacam upacara legitimasi kekuasaan oligarki parpol melalui pemilu. Karena itu rezim Orba menyebutnya pemilu sebagai pesta demokrasi. Pemilu bukan sebagai hukuman rakyat terhadap caleg yang ingkar janji, urai Aziz dosen Fisip Universitas Brawijaya itu.
Lebih lanjut Aziz uraikan bahwa jaman Orba caleg diusung oligarki parpol. Sebagian besar caleg tidak diketahui dan tidak dikehendaki rakyat. Kroni oligarki diletakkan nomor urut topi (nomor satu atau dua, nomor urut jadi).
Hal yang jauh, apalagi tidak disukai, dari oligarki parpol pasti di letakkan nomor sepatu (nomor bawah) sehingga tidak mungkin jadi, meskipun caleg tersebut disukai rakyat.
Lebih gelap lagi di TPS (Tempat Pemungutan Suara) tidak ada daftar caleg. Rakyat hanya nyoblos gambar parpol. Siapa caleg yang akan dipilih, tidak diketahui rakyat.
Model pilihan seperti itu sering disebut beli kucing dalam karung. Orang membeli kucing, tapi tidak tahu kucingnya yang diinginkan, kata Aziz.
Jika MK putuskan coblos parpol maka kita kembali seperti beli kucing dalam karung. Pemilih, rakyat, hanya mencoblos gambar parpol, tapi siapa yang akan menjadi wakilnya tidak tahu. Rakyat hanya disodori calon wakil yang ditentukan pimpinan parpol. Siapa saja yang dianggap kroni ketua parpol bakal diletakkan nomor urut atas. Yang jauh dari kroni oligarki akan disingkirkan ke nomor sepatu.
Mayoritas Rakyat Tolak Coblos Parpol
Masyarakat Indonesia sebagian besar menolak coblos parpol. Hasil survei Indikator Politik mendapatkan data 80,6 persen masyarakat tidak setuju coblos parpol.
"Jadi 80,6 persen masyarakat setuju coblos caleg ketimbang coblos parpol, hanya sebanyak 11,9 persen," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam survei bertajuk Dinamika Elektoral Capres dan Cawapres Pilihan Publik dalam Surnas Terbaru, secara virtual, Minggu, 26 Maret 2023.
Data yang nyaris sama juga dikemukakan oleh SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting). Survei yang dilakukan pada 2-5 Mei 2023 menemukakan data menarik. Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, mengatakan dukungan publik coblos caleg dalam Pemilu Legislatif sangat kuat yakni, 72 persen.
Sementara itu, hanya 19 persen publik yang menginginkan coblos parpol, dimana warga hanya memilih partai dan calon anggota DPR ditentukan oleh pimpinan partai.
"Masih ada 9 persen yang belum punya sikap," kata Deni dikutip dari siaran persnya, Jumat (12/5/2023). Menurut Deni, sikap mayoritas warga yang menginginkan sistem pemilu coblos caleg ni konsisten dalam 3 kali survei yang dilakukan pada Januari, Februari, dan Mei 2023. Sebanyak 71-73 persen menginginkan coblos caleg.
Data lebih detil diuraikan Deni yaitu sebanyak 49 persen yang lebih merasa diwakili oleh orang yang dipilih sebagai anggota DPR. Sementara yang lebih merasa diwakili oleh partai politik asal anggota DPR tersebut hanya 28 persen, dan masih ada 24 persen yang belum jawab.
Penolakan coblos parpol didukung berbagai lapisan masyarakat. Data SMRC menggambarkan mayoritas warga di setiap lapisan demografi dan wilayah. Terlepas dari jenis kelamin, tempat tinggal (desa-kota), usia, dan pendidikan, mayoritas publik memberi dukungan pada sistem proporsional terbuka.
"Demikian pula dari agama, etnis, dan wilayah. Perbedaan demografi dan wilayah ini tidak membedakan aspirasi warga. Mayoritas warga di setiap kelompok demografi dan wilayah lebih mendukung coblos caleg," kata Deni.
Di samping itu survei SMRC itu menemukan data bahwa coblos caleg merupakan aspirasi mayoritas massa pemilih semua partai, dukungan terentang dari 62 sampai 86 persen. Termasuk pemilih PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) mayoritas memilih Coblos caleg.
Massa pemilih PDIP yang merupakan partai pendukung sistem proporsional tertutup juga umumnya mendukung sistem proporsional terbuka dengan tingkat dukungan 73 persen. Temuan Indikator Politik juga menunjukkan para pemilih PDIP pun memilih Coblos caleg.
"Langkah PDIP mengusulkan sistem pemilu proporsional tertutup tampaknya bertentangan dengan aspirasi mayoritas pemilihnya yang lebih menginginkan sistem proporsional terbuka," kata Deni.
8 Fraksi Tolak Coblos Parpol
Baca juga: Akhirnya MK Putuskan Coblos Caleg
Penolakan coblos parpol juga dilakukan oleh 8 fraksi di DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia).
Hanya Fraksi PDIP yang mendukung coblos parpol. Mayoritas fraksi di DPR, yaitu 8 fraksi, mulai mengancam MK akan merevisi anggaran untuk MK dan juga mengubah ketentuan masa jabatan 15 tahun hakim MK menjadi 5 tahun.
Ancaman itu dilontarkan 8 fraksi DPR tatkala memperoleh informasi dari Denny Indrayana bahwa MK telah memutuskan ke sistem proporsional tertutup atau coblos parpol. Isu sumir itu menjadi bola liar baik di DPR maupun di ranah masyarakat.
Delapan ketua umum dan pimpinan partai politik parlemen berkumpul hari, Minggu (8/1/2023). Mereka menyatakan sikap menolak pemilu dengan sistem Proporsional Tertutup.
Usai pertemuan, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali, dan Wakil Ketua Umum PPP Amin Uskara menyampaikan pernyataan sikap 8 Parpol.
Sementara Gerindra izin tidak dapat hadir namun menyampaikan sepakat dengan ketujuh parpol lain.
"Pertama, kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi. Sistem pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi kita," kata Airlangga di Hotel Dharmawangsa, Minggu (8/1/2023).
Airlangga menyebut sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat, di mana rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik.
"Kami tidak ingin demokrasi mundur," kata dia.
Kedua, lanjut Airlangga, sistem pemilu dengan proporsional terbuka merupakan pilihan yang tepat dan telah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 yang sudah dijalankan dalam tiga kali emilu dan gugatan terhadap yurisprudensi akan menjadi preseden yang buruk bagi hukum kita dan tidak sejalan dengan asas nebis in idem
"Ketiga, KPU tetap menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu dengan menjaga netralitas dan independensinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ungkapnya.
Baca juga: Seperti Apa Pertanggungjawaban Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu?
Keempat, mengapresiasi pemerintah yang telah menganggarkan anggaran Pemilu 2024 serta kepada penyelenggara Pemilu terutama KPU agar tetap menjalankan tahapan-tahapan Pemilu 2024 sesuai yang telah disepakati bersama
"Yang kelima, kami berkomitmen untuk berkompetisi dalam Pemilu 2024 secara sehat dan damai dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap memelihara stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi. Demikian pernyataan politik untuk menjadi perhatian," pungkasnya.
5 Skenario Putusan MK
Denny Indrayani kembali mengemukakan ada dugaan 5 skenario putusan MK siang ini. Pada 13 Juni dia merilis dugaan putusan MK secara terbuka. Skenario itu adalah sebagai berikut:
1. Tidak dapat diterima, karena para pemohon tidak punya legal standing. Artinya sistem pileg tetap proporsional terbuka, tidak ada perubahan.
2. Menolak seluruhnya, karena permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk dikabulkan. Artinya sistem pileg tetap proporsional terbuka, tidak ada perubahan.
3. Mengabulkan seluruhnya, artinya sistem pileg berubah menjadi proporsional tertutup, tinggal apakah akan langsung diterapkan pada pemilu 2024, atau ditunda pelaksanaannya. Kalau MK, mencari jalan kompromi antara berbagai kepentingan politik, maka putusannya akan mengabulkan seluruh permohonan, yang artinya mengganti sistem proporsional terbuka menjadi tertutup, namun diberlakukan untuk pemilu selanjutnya, tidak langsung berlaku di 2024.
4. Mengabulkan sebagian, yaitu ketika memutuskan sistem campuran (hybrid) antara penerapan proporsional tertutup yang memperhatikan nomor urut, sambil tetap memperhitungkan suara terbanyak (terbuka), yang akan diterapkan pada pemilu 2024, atau ditunda pelaksanaannya.
5. Mengabulkan sebagian, yaitu ketika memutuskan sistem campuran (hybrid) berdasarkan levelnya, misalnya proporsional tertutup untuk DPR RI, dan terbuka untuk tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, atau sebaliknya, yang akan diterapkan pada pemilu 2024, atau ditunda pelaksanaannya.
Tulisan: Aribowo
Editor : Pahlevi