Optika.id - Polemik proporsional tertutup kembali menjadi diskusi publik sekalipun wacana ini masih menjadi debat pembahasan di forum Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak masyarakat yang menjadi sangat khawatir jika disahkannya sistem proporsional tertutup dalam Pemilu Legislatif 2024 mendatang maka akan membatasi hak demokrasi bagi masyarakat umum.
Baca Juga: Junimart Minta Semua Pihak Hormati Keputusan MK Soal Sistem Proporsional Terbuka
Penetapan anggota dewan terpilih bukan lagi didasarkan atas suara terbanyak, melainkan nomor urut teratas calon anggota legislatif. Lebih lanjut hal ini akan memperkuat sistem oligarki dari para elite politik yang selama ini aktor politik Indonesia.
Pascapemilu 1999, pembentuk undang-undang telah memutuskan untuk mengubah sistem pemilu proporsional daftar tertutup (closed list) untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang memungkinkan para pemilih dapat langsung mencoblos calon pilihannya di surat suara.
Dalam praktiknya, surat suara bukan hanya akan memuat nomor urut dan tanda gambar
partai, tapi juga memuat nomor urut dan nama caleg yang diusung partai. Namun, pada Pemilu 2004 melalui UU No. 12 Tahun 2003, konteks ini masih dilakukan melalui penerapan sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system). Caleg akan menduduki kursi yang diperoleh partai apabila mendapat suara sejumlah kuota harga satu kursi yang disebut bilangan pembagi pemilih (BPP).
Munculnya polemik terkait sistem pemilu masa mendatang apakah akan kembali menggunakan sistem sebelum masa reformasi jelas menjadi tantangan tersendiri karena dalam konteks ini akan ada langkahpenyesuaian dan perbaikan pada pemilu-pemilu yang akan datang. Pada dilema ini, sudah sewajarnya jika MK menempatkan pengaturan soal
sistem pemilu ini sebagai ranah pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Dalam posisi besarnya, MK idealnya memberikan arah pada pembentuk undang-undang terkait asas dan prinsip dalam memilih sistem pemilu. Bila kedepan akan dilakukan satu proses peninjauan sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang, maka mestilah dilakukan secara terbuka dan akuntabel dengan terlebih dahulu merumuskan secara jelas
tujuan-tujuan pemilu yang hendak dicapai.
Secara utuh, harus dipastikan bahwa pilihan atas sistem pemilu adalah koheren dengan
sistem kepartaian, perwakilan, dan pemerintahan agar demokrasi mampu terkonsolidasi kuat ditengah masyarakat.
Tinjauan Praktis
Sejak memasuki masa awal reformasi pembentuk undang-undang telah menyepakati sistem proporsional terbuka, bukan proporsional tertutup. MK lebih pada mengambil posisi untuk memperkuat dan mempertegas pilihan sistem proporsional terbuka tersebut dengan menghilangkan syarat perolehan BPP dalam penentuan calon terpilih.
Langkah tersebut diambil karena hal ini yang dinilai lebih sejalan dengan prinsip suara terbanyak sebagai salah satu prinsip prosedural demokrasi yang dianut dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Sistem proporsional terbuka telah dilegitimasi oleh MK melalui Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008. Hingga saat ini, sama sekali tidak terdapat alasan konstitusional yang kuat bagi MK untuk mengubah pendiriannya.
Pilihan sistem proporsional terbuka tersebut pada awalnya merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang, dimana MK lebih pada posisi menggeser variannya ke pendulum (varian) yang dinilai lebih sesuai dengan prinsip suara terbanyak sebagai satu prinsip demokrasi. Artinya, MK bukan pada posisi mengganti satu sistem dengan sistem lainnya.
Pilihan bagi pembentuk UU untuk memilih sistem pemilihan yang lebih sesuai dan kompatibel dengan suatu negara dan tujuan yang ingin dicapai dalam sistem pemilihan. Baik sistem proporsional terbuka suara terbanyak maupun proporsional tertutup, keduanya mungkin digunakan karena disesuaikan dengan keadaan dan tujuan yang ingin dicapai dari suatu aturan kepemiluan.
Baca Juga: Akhirnya MK Putuskan Coblos Caleg
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak dapat dipungkiri jika ada banyak alasan dibalik dibuka kembalinya wacana perubahan pemilihan sistem pemilihan termasuk perspektif politis dibandingkan dengan upaya penegakan kedaulatan rakyat yang lebih menjaminkan keadilan bersama.
Penilaian Rasional
Dalam tinjauan sejarah, pelaksanaan pemilu Indonesia sudah berjalan sebanyak 12 kali, yakni Pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1955, setelah itu pelaksanaannya secara berturut-turut pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. Setelah berakhirnya era Presiden Soeharto, Pemilu kembali dilaksanakan pada tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan terakhir pada 2019.
Dari tahun 1971 hingga 1999 sistem pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup. Sistem pemilu sedikit mengalami perubahan pasca reformasi yaitu pada tahun 2004 dengan sistem proporsional semi terbuka. Sistem proporsional terbuka baru kemudian benar-benar diterapkan pada pemilu tahun 2009, diawali dengan putusan MK Nomor: 22-24/PUU-VI/2008.
Saat ini sistem proporsioanl terbuka sedang diuji di MK (Judicial Review), untuk digantikannya kembali menjadi sistem proporsional tertutup pada pemilu legislatif. Akan tetapi ini kemudian menjadi perdebatan dikarenakan sistem proporsional tertutup dinilai
merupakan sistem yang menggambarkan kemunduran karena sistem ini adalah peninggalan orde baru apabila MK menyetujinya sebagai sistem pemilu 2024.
Walau sistem proporsional tertutup dapat menjadi solusi untuk kondisi politik dan demokrasi Indonesia saat ini untuk pemilu, akan tetapi oligarki bisa bermain lewat sistem ini, dan partai akan mendominasi serta kedaulatan rakyat bisa terancam.
Meski memiliki kelemahan, masih ada upaya yang dilakukan pemerintah dan ini bisa dimaksimalkan dalam perbaikan sistem proporsional tertutup, yakni sistem proporsional tertutup yang dibarengi dengan primary election atau konvensi di internal partai untuk menyaring caleg yang kredibel dalam mengurangi oligarki dan praktik suap di tingkat elite.
Baca Juga: MK Putuskan Coblos Parpol: Kembali Beli Kucing Dalam Karung
Semakin tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh partai dan caleg, serta anggaran negara yang dikeluarkan untuk pemilu dengan menggunakan sistem proporsional terbuka, maka peluang untuk sistem pemilu yang baru pada 2024 mungkin saja ada, yakni proporsional tertutup yang menawarkan murahnya biaya politik, terminimalisirnya money politic, dan internal partai yang utusannya ideologis.
Secara rasional, Pemilu Indonesia tahun 2024 harus dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi yang matang dari pemilu beberapa periode ke belakang. Mulai dari perintah konstitusi, demokrasi, kecurangan, biaya politik, anggaran pemilu dan hak asasi manusia. Walau belum ideal, proporsional terbuka sejatinya memang harus diperbaiki, termasuk salah satunya mempertimbangkan pembahasan sistem tertutup dengan konvensi internal partai yang ketat.
Namun, pada posisi ini, pihak MK harus jeli melihat dampak dari sistem operasional terbuka tanpa harus mengenyampingkan tatanan konsep kedaulatan rakyat dan demokrasi yang dinamis dan mengikuti kebutuhan zaman.
Sebagai publik, harapan dari sistem proporsional melalui daftar terbuka adalah para calon pemilih tidak lagi memilih kucing dalam karung, karena sejatinya para calon pemilih akan menggali sebanyak mungkin identitas sekaligus track record, sehingga saat terpilih nanti.
Melalui cara ini, antara pemilih dan wakil terpilih akan terjalin hubungan politik yang dapat dipertanggungjawabkan secara penuh atau accountable political relationship. Ujung besar dari politik moral ini akan melahirkan wujud kedewasaan politik yang akan memberi motivasi rasional dalam mensejahterakan masyarakat Indonesia secara luas.
Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA (Analis dan Mahasiswa S3 Universitas Indonesia)
Editor : Pahlevi