Optika.id - Bukan hal yang asing ketika di dunia hiburan ada suatu pakem yang tak terucap bahwa kulit berwarna terang, putih, bening dengan postur tubuh tinggi semampai, rambut hitam panjang lurus, ketiak mulus, serta masih banyak ketentuan lainnya muncul sebagai standar kecantikan.
Baca juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah
Standar kecantikan ini pun muncul dan kerap diikuti oleh banyak orang. Berawal dari kemunculannya, siapa yang sudah berani menentukan standar kecantikan padahal manusia berbeda-beda dan terdiri dari kondisi budaya serta geografis yang berbeda pula.
Standar kecantikan di media inilah yang akhirnya turut menentukan arah putusan masyarakat terhadap penilaian mereka tentang perempuan yang sempurna.
Sederhananya, para perempuan yang secara fisik mempunyai hal-hal yang berbeda dibandingkan dengan citra media seperti kulit yang lebih gelap, memiliki bintik wajah, berambut ikal, akan mendapatkan anggapan yang kurang sempurna
Pada akhirnya, era digital memberikan ruang-ruang untuk berkomentar yang hampir sepenuhnya bebas dan tanpa aturan. Bahkan, terhadap standar kecantikan wanita. Tak pelak muncul istilah body shaming yang terlahir dari respons penilaian pada aksi komentar yang mempermasalahkan ketidaksesuaian standar bentuk fisik seseorang.
Kasus body shaming atau perundungan kondisi fisik ini tak hanya dialami oleh masyarakat biasa. Bahkan dari kalangan selebritas pun mengalami body shaming. Sebut saja Prilly Latuconsina, Aura Kasih, Kiky Saputri, bahkan Yura Yunita yang disebut memiliki ketiak hitam dan tidak mulus.
Hal ini tentunya menunjukkan bahwa tiap perempuan bisa mengalami perundungan berupa body shaming sekaligus menunjukkan bahwa ketidaksempurnaan fisik juga dialami oleh setiap orang tanpa peduli dia selebritas atau bukan. Pun, menunjukkan bahwa media selalu menampilkan citra sempurna hasil polesan kapitalisme.
Standar kecantikan yang dibuat secara universal seperti kulit putih, tubuh ramping, bibir tipis, hidung mancung dan lain sebagainya ini dianggap bermula dari politik ras. Rasisme, klasisme dan colourism ini diakibatkan oleh kolonialisasi bangsa Eropa terhadap bangsa jajahannya, khususnya negara-negara Asia dan Afrika.
Para penjajah yang umumnya berkulit putih terang dengan rambut bagus menganggap rendah orang-orang yang berkulit lebih gelap. Dan standar kecantikan inilah mengacu pada masyarakat tanah jajahan yang inferior sementara pihak penjajah superior.
Baca juga: KPPPA Minta Kasus Perundungan Sekolah Internasional Binus Diselesaikan dengan UU Pidana Anak
Oleh sebab itu, para perusahaan yang bergerak di bidang produk kecantikan pun turut tenggelam dalam pakem yang sudah lama mengakar ini. Sadar atau tidak, berbagai produk kecantikan yang tersedia saat ini pada akhirnya turut memelihara standar kecantikan warisan kolonial yang tetap lestari.
Alhasil, persepsi standar kecantikan yang sudah mendarah daging ini pun sampai kapanpun akan selalu terjaga dan terwariskan antar generasi. Apalagi, jika mendapat legitimasi dari media.
MemonetisasiInsecurity
Dilansir dari Office of Womens Health, Sabtu (17/6/2023), standar kecantikan yang diamini oleh banyak pihak dan dijadikan hal yang lazim inipun menimbulkan dampak ketidakamanan atau insecure pada banyak perempuan. Sensasi yang timbul bisa berupa perasaan minder, cemas, dan depresi apabila dirinya merasa di bawah standard an tidak pantas cantik.
Dalam situs tersebut dijelaskan bahwa wanita yang mempunyai citra tubuh yang positif cenderung mempunyai kesehatan mental yang baik. Namun, akan sulit bagi kebanyakan perempuan untuk memiliki citra tubuh yang dimaksud apabila mengacu pada standar kecantikan universal.
Baca juga: Bullying Terjadi Lagi, FSGI: Sekolah Tak Boleh Cuci Tangan dan Main Aman
Akhirnya, produk kecantikan yang tersedia dan disediakan oleh industri kapitalis hanya memonetisasi atau mengambil keuntungan dari rasa insecure ini. Industri kecantikan tersebut menjanjikan suatu perisai sempurna dari melawan ketidaksempurnaan yang dirasakan oleh perempuan.
Monetisasi insecurity ini terlihat dari banyaknya penjual skincare yang menjajakan produk dagangannya dengan sistem kredit atau cicilan di berbagai perkampungan pedesaan. Dus, hal ini ternyata banyak mengundang minat pelanggan. Pelanggannya pun tak hanya dari para gadis saja, melainkan ibu-ibu rumah tangga juga membuka cicilan skincare ini di luar dari cicilan perabotan dapur ataupun kebutuhan primer rumah tangga lainnya.
Pada akhirnya, perempuan hanya bisa memilih dua pilihan yang tersisa. Antara ikut ombak persepsi standar kecantikan warisan kolonial yang masih berlaku dan dijunjung tinggi saat ini, ataukah memilih menjadi perempuan yang mencintai dirinya apa adanya dengan membanggakan ketidaksempurnaan yang dimiliki.
Namun, perlu diketahui bahwa pilihan kedua pun bukannya tanpa resiko pasalnya jalur untuk menerima diri sepenuhnya beserta dengan ketidaksempurnaan terlalu terjal berliku dan tidak bisa dilalui tanpa bekal mental baja yang kuat dan tidak bisa ditembus oleh kapitalisme.
Editor : Pahlevi