Optika.id - Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Diana Setiyawati angkat bicara tentang budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat Indonesia.
Baca juga: Femisida Masih Dimaklumi Masyarakat Karena Stigma dan Status Korban
Budaya patriarki ini kerap menempatkan perempuan yang bertanggung jawab untuk urusan domestic serta mengurus anak dan rumah tangga sementara laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik.
Padahal, menurut Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM ini, pengasuhan anak dan urusan domestic rumah tangga membutuhkan keterlibatan orang tua secara berimbang antara ayah dan ibu,
Artinya, pengasuhan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu saja, tetapi juga dilakukan oleh ayah. Namun, yang banyak terjadi ayah tidak terlibat dalam pengasuhan. Ini jadi fenomena yang cukup lazim, salah satunya karena pengaruh budaya, ucap Diana kepada Optika.id, Minggu (18/6/2023).
Selain faktor dari budaya patriarki Indonesia, anak juga bisa mengalami fatherless atau ketidakhadiran sosok ayah yang mendampinginya lantaran orang tuanya terlalu sibuk termasuk dalam urusan bekerja.
Faktor orang tua yangfly in fly out, terlalu sibuk, misal berapa hari sekali baru bisa pulang menjadikan secara teknis lebih sulit terlibat dalam pengasuhan. Sementara saat sudah pulang tidak ada komitmen untuk mengganti hari-hari yang hilang, paparnya.
Di sisi lain, orang tua, terlebih sosok ayah, biasanya tidak mengerti bagaimana mengasuh anak yang baik dan mendampingi anak dalam prosesnya. Sehingga, fatherless ini terjadi karena si ayah tidak tahu cara mengasuh anak dengan baik dan anak tidak mendapatkan model yang bisa ditiru serta tidak mendapatkan ilmu darinya.
Padahal, sosok ayah mempunyai peran penting dalam mendampingi tumbuh kembang anak. Salah satunya bisa dilihat dari keterlibatan ayah dalam aktivitas bersama anak yang bisa menjadi kegiatan stimulant dalam perkembangan kognitif anak.
Lebih lanjut Diana menjelaskan jika ada perbedaan gaya bicara dan pengasuhan dari ayah dan ibu. Misalnya ayah yang cenderung lebih mengarahkan, lebih singkat. Bentuk komunikasi yang lebih kompleks dengan orang tua menuntut kemampuanbahasa yang lebih tinggi sehingga bisa menstimulasi perkembangan kognitif anak.
Selanjutnya, keterlibatan ayah dalam mengasuh buah hati akan mendorong perkembangan fungsi eksekutif anak yang lebih optimal. Seperti kemampuan anak dalam mengendalikan diri, merencanakan, memecahkan masalah dan mengelola atensi dari orang lain.
Relasi positif yang terjalin antara ayah dan anak ini, imbuh Diana, juga bisa mengembangkan emosi anak secara matang. Tak hanya itu, ayah yang memberikan dukungan emosi dengan terlibat ke dalam pengasuhan anak secara domestic ini bisa mengurangi beban sang ibu juga. Sehingga, turut mempengaruhi kualitas hubungan antara ibu dan anak.
Begitupun sebaliknya, perkembangan emosi yang terhambat ini bisa menyebabkan anak mempunyai emosi yang tidak matang, meledak-ledak, dan tidak mampu mengatur emosinya dengan baik sehingga tidak bisa mengekspresikan maupun mengendalikan emosinya untuk disalurkan ke hal-hal yang baik.
Baca juga: Upaya Pemerintah Atasi Trauma Anak di Daerah Konflik
Anak yang tidak mendapatkan pengasuhan dan kehangatan dari sosok ayah akan mudah mengalami kecemasan, kompetensi sosial lemah, danself-esteemrendah, kata Diana.
Di sisi lain, Diana juga menyinggung aspek moral dalam pengasuhan ini. Menurutnya, peran ayah dibutuhkan dalam penanaman nilai individu lantaran sikap laki-laki cenderung lebih tegas dan maskulin daripada ibu. Baik anak laki-laki dan perempuan, mereka butuh sikap maskulin dan feminine secara seimbang.
Diana menjelaskan, banyak penelitian yang menunjukkan nihilnya peran ayah bisa menyebabkan anak tidak memiliki moral yang baik dan rawan terlibat ke dalam kenakalan remaja.
Dus, peran ayah juga penting dalam pembentukan identitas seksual anak. Carl Jung dalam beberapa penelitiannya juga menyinggung tentang peran laki-laki atau ayah bisa membeirkan gambaran mengenai perbedaan gender, khususnya pada anak laki-lakinya.
Si ayah juga bisa menjadi role model dalam menjalankan peran sebagai laki-laki yang tercermin dalam urusan domestic. Sikap hangat dan positif ayah terhadap anak, khususnya laki-laki, bisa membentuk maskulinitas dalam dirinya. Hal ini sangat perlu agar seimbang dengan sikap feminitas yang diturunkan dari ibu.
Peran ayah dalam pengasuhan ini memang tidak bisa dipandang sebelah mata lantaran anak membutuhkan perkembangan baik kognitif, sosial maupun emosionalnya yang bisa didapatkan dari kedua orang tuanya.
Baca juga: Orang Tua Diminta Waspadai Anak Candu Judi karena Bermain Game Online
Keterlibatan ayah ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan misalnya menjalin komunikasi dengan anak ketika bermain, belajar bersama, mengerjakan sesuatu hal yang disukai, mengasuh anak, memberikan pengarahan, selalu ada untuk anak dan lainnya.
Pembagian peran dalam mengasuh anak yang sebenarnya kompleks ini pun menuntut keterlibatan dari banyak pihak agar si anak yang merasa kehilangan peran orang tua, khususnya ayah, tidak meluapkan ke bentuk kenalakan remaja yang mengarah ke tindak kriminal.
Oleh sebab itu, Diana menyarankan agar keluarga, pendidikan, komunitas, pemerintah hingga lembaga sosial terlibat secara aktif dan memberikan pemahaman, sosialiasi, pendidkan, dukungan dan kesempatan positif kepada para remaja agar membentuk perilakunya secara sehat dan bertanggung jawab.
Di sisi lain dia mengakui adanya ketimpangan ekonomi serta tuntutan pekerjaan yang tinggi. Serta perjalanan ke kantor yang memakan waktu membuat waktu ayah dengan anak untuk sekadar quality time menjadi kian sempit.
Penting bagi ayah untuk mencari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Ini melibatkan pengelolaan waktu yang efisien, kemungkinan fleksibilitas kerja, dan komunikasi yang baik dengan pasangan untuk membagi tanggung jawab dan peran dalam pengasuhan anak, ujarnya.
Editor : Pahlevi