Optika.id - Kini, isu homoseksual dan segala perdebatannya menghebohkan media sosial. Warganet yang berjubah religius pun sibuk hujat-menghujat dengan aktivis kemanusiaan yang dituduh liberal. Tak jarang, dalam argumen mereka pun secara tidak langsung mengait-ngaitkan kemunduran peradaban manusia karena praktek homoseksual yang menyimpang dari ajaran Islam.
Baca juga: Peneliti Ungkap Hewan Berperilaku Homoseksual Demi Hindari Konflik
Sebaliknya, mereka mengembor-gemborkan periode kegemilangan kesultanan Abbasiyah, kesultanan Utsmaniyah dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya tanpa memperdulikan narasi sejarah yang bernada negatif.
Menampilkan narasi sejarah yang bermuatan positif saja demi kepentingan pencitraan merupakan bentuk kebohongan dan kemunafikan.
Sejarah adalah pengetahuan yang kadar politisnya tinggi. Patut diketahui, bagaimana nasib penulis yang membongkar sejarah kelam Islam yang terpoles indahnya subjektivitas agamawan?. Di bawah rezim diktator Mesir, Faraq Fauda menerima hukuman mati. Mungkin itu contoh terkejam, tapi kini hanya dilabeli liberal, dituduh orientalis garis keras seperti Philip K. Hitti dan lain sebagainya.
Menilik kasus tersebut, bisa dimulai dari mengamati perkembangan sastra di kesultanan Abbassiyah. Philip K. Hitti dalam buku tersohornya History of Arabs menyebut bahwa gerakan sastra non-Arab yang dipelopori oleh penyair dan sastrawan Persia mengejek klaim sepihak orang-orang Arab atas prestasi di bidang puisi dan sastra.
Gelombang pertama penaklukan tentara Islam yang mengilhami Arabisasi wilayah jajahannya. Akan tetapi, wilayah Persia cukup baik menangkal arus Arabisasi karena masih mempertahankan tradisi Helenistik (budaya atau tradisi yang berciri khas perpaduan rasionalitas Yunani dan adat istiadat lokal).
Oleh karena itu, identitas Persia menggugah penyair dan sastrawan seperti Ibn Durayd, al-Baladhuri, Ibn-Qutaybah dan al-Jahiz. Persoalan homoseksual tertuang dalam karya al-Jahiz. Sebagai kritikus sastra dan komentator masalah sosial, al-Jahiz menulis argumennya atas isu hangat mengenai perdebatan manfaat puisi bercorak pra-Islam yang dibenturkan oleh ayat al-Quran dan filsafat Yunani.
Superioritas budaya Arab yang disokong oleh kekuasaan mendesak sastra dan puisi Persia. Al-Jahiz menentang dominasi literatur Arab melalui karya sastra yang merepresentasikan realitas sosial kesultanan Abbasiyah pada pertengahan abad ke-9. Al-Jahiz melabeli luti bagi pria Arab yang menggemari bercinta dengan anak laki-laki di bawah umur. Sebutan itu berasal dari nama Lot yang tercantum dalam Perjanjian Lama (pembahasan kota Sodom dan Gomora).
Hugh Kennedy dalam buku Al Jahiz and the Construction of Homosexuality at the Abbasid Court menulis bahwa Al Jahiz sepakat dengan madzhab Maliki, Hanbali, Syafii dan Syiah mengenai hukuman mati bagi pelaku praktik sodomi. Namun, praktik liwat atau hubungan anal sulit terdeteksi karena dilakukan secara diam-diam dan bersifat privasi.
Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa
Al-Jahiz hanya berani membuka skandal praktik homoseksual orang-orang Arab di lingkungan istana kesultanan Abbasiyah dalam esai berjudul Mufakharat al-Jawari wa'l-ghilman. Ia memahami konsekuensi mengerikan bila mencemari citra elit Abbasiyah sehingga memilih menggunakan karya tulis yang memuat sastra. Sindiran tersirat dalam bait puisi dan hampir setiap paragraf berisi kritik atas fenomena sosiologis.
Al-Jahiz memakai karya sastra agar terkesan fiktif meskipun sebenarnya fakta historis yang dikemas menarik. Selain mengelabuhi dengan menyajikan karya yang batas antara fakta dan fiksinya tipis, al-Jahiz juga mengelabuhinya dengan humor nakal, kutipan cerdas dan narasi yang bersifat paradoks sehingga seolah-olah hanya bualan semata.
Al-Jihaz mencela penyair Arab terutama yang mengagung-agungkan seni dan kesusastraan pra-Islam melalui puisinya, dengan menyelipkan unsur pelecehan terhadap upaya memuliakan para pencabul, tukang sodomi ataupun kaum pederasty (hubungan erotis yang melibatkan unsur erotisme yang berujung pada homoerotic activity).
Al-Jahiz mengutip keterangan tradisi lisan yang menceritakan khalifah Abu Bakr (632-634 M) melempar seorang prederast dari puncak sebuah menara. Abu Ishaq Ash-Shari menimpali kabar lain bahwa Abu Bakr membakar Shuja Ibn Warqa al-Asadi, seorang pria homoseksual yang mempraktikkan sodomi dengan Abu Ubaida Mamar Ibn Muthanna.
Baca juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel
Abu Bakr juga membakar hidup-hidup Abu Ubaida Mamar Ibn Muthanna dengan dalih membiarkan dirinya disodomi. Sedangkan khalifah Ali (656-661 M) melarang keras praktik sodomi dengan menata ulang peraturan hukumnya. Adapun khalifah Hisham dari dinasti Umayyah (724-743 M) menghukum seorang pederast dengan membakarnya. Al- Jahiz mengemukakan argumen logis yang menjawab mengapa praktik sodomi dan homoseksual dapat berkembang?.
Tentu kurang memuaskan, tapi cukup rasional mengingat dorongan seksualitas yang tak mendapatkan ruang aplikasi karena harga mahal budak wanita ataupun sedang masa menunggu siklus menstruasi wanita. Kasus sodomi dengan korban anak laki-laki terhindar dari syarat-syarat itu karena lubang anus dapat dinikmati kapanpun. Berduaan dengan anak laki-laki cenderung lebih aman daripada dengan anak perempuan dalam konteks masyarakat Islam Abad Pertengahan.
Karena penis bulat, maka jelas dirancang untuk menembus anus bulat; jika itu untuk vagina, itu akan berbentuk seperti sumbu, tulis Al-Jahiz, dikutip Optika.id, Selasa (20/6/2023).
Akan tetapi, Hugh Kennedy dalam Al Jahiz and the Construction of Homosexuality at the Abbasid Courtc menyebut jika campur aduk antara sindiran, rasionalitas dan lelucon bahkan fiksi ataupun fakta pun sulit sekali dibedakan sehingga tentu argumen dan cerita tradisi lisan itu tidak dapat dibenarkan sepenuhnya tapi mampu menggambarkan realitas sosial saat itu.
Editor : Pahlevi