Optika.id - Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam sangat mengapresiasi keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang telah menetapkan sistem Pemilihan Umum (Pemilu) proporsional terbuka. Menurutnya sistem pemilu proporsional terbuka sangat lebih baik dibandingkan sistem pemilu proporsional tertutup.
Baca juga: Akhirnya MK Putuskan Coblos Caleg
Surokim mengatakan, proporsional tertutup memberikan dampak negatif. Yakni para caleg tidak akan mengetahui aspirasi masyarakat, kemudian memicu politik uang, serta oligarki partai semakin merajalela dan dominasi partai lebih kuat.
"Putusan yang harus diapresiasi. Saya pikir putusan itu sudah sesuai dengan harapan, keinginan publik dan juga kebutuhan politik masa depan karena memang lebih mendukung untuk membangun politik yang lebih demokratis," kata Surokim pada Optika.id, Rabu (21/6/2023).
Dengan sistem proporsional terbuka ini, Surokim menyebut, jika pemilu akan berlangsung lebih ideal di mana masyarakat bisa memilih calonnya yang dianggap bisa mewakili suaranya.
Menurut Wakil Rektor UTM tersebut, hal yang harus diperbaiki adalah sistem di dalam internal partai politik (parpol). Terutama tentang mekanisme rekrutmen, pembinaan dan kaderisasi partai agar bisa memenuhi harapan partai.
"Pintu masuknya kan lewat partai untuk kandidat dan seleksi, jadi partai harus lebih selektif jika ingin memperkuat sistem terbukanya. Bagaimana dengan track record kandidat, integritas, kapasitas dan kompetensinya. Terutama integritas agar menghindari praktik pembelian suara," tukasnya.
Keputusan Tepat MK
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Bengkulu Dr. Panji Suminar mengemukakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan perkara gugatan Undang-Undang Pemilu sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku merupakan keputusan yang tepat.
"Putusan MK dengan tetap sistem pemilu terbuka sudah tepat. Sebenarnya sistem itu tidak bisa asal bongkar pasang gonta-ganti, ketika tidak cocok pemilu tertutup minta terbuka, tidak cocok terbuka minta tertutup. Oleh karena itu, tepat MK putuskan tetap terbuka," kata Panji Suminar seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya, Rabu (21/6/2023).
Menurut Panji, ketika ada kekurangan dari sistem yang dipakai, upaya yang dilakukan bukanlah dengan mengganti sistem, namun dengan memperbaiki apa yang menjadi permasalahannya.
"Ketika kelemahan-kelemahan perbaiki dengan aturan, bukan malah mengganti sistem. Kalau mengganti jadinya mulai dari nol kilometer lagi, sistem sudah bergerak maju, kemudian diganti lagi kembali ke nol lagi, kan tidak seperti itu," katanya.
Dia menambahkan MK memiliki alasan yang kuat menolak untuk permohonan para pemohon soal perkara gugatan Undang-Undang Pemilu itu.
"MK punya alasan hukum yang bagus, sebenarnya ketika memutuskan menolak itu karena mengubah sistem di tengah jalan, di tengah tahapan pemilu itu tidak mungkin. Kecuali mengubah sistem, tetapi diterapkan bukan pada 2024 ini, melainkan 2029. Tapi, putusannya tetap terbuka dan itu sudah tepat," ucap Panji.
Parpol Kecil Berpeluang Dapat Kursi
Selain itu, pengamat politik Dr. Kadek Dwita Apriani, S.Sos., MIP memandang, sistem Pemilu proporsional terbuka dapat menambah peluang bagi parpol kecil untuk mendapatkan kursi anggota dewan.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan manggaet figur-figur, yang populer dan diterima di tingkat akar rumput.
Baca juga: MK Putuskan Coblos Parpol: Kembali Beli Kucing Dalam Karung
Yang terpenting sistem ini membuka peluang lebih besar bagi partai kecil, untuk meloloskan calegnya jika partai kecil ini memiliki caleg yang populer dan diterima akar rumput, ungkap Kadek Dwita seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya, Rabu (21/6/2023).
Selain itu, euforia Pemilu dinilai lebih semarak dengan sistem proporsional terbuka.
Hal tersebut lantaran para caleg beramai-ramai mempromosikan dirinya baik di dunia maya maupun dunia nyata.
Artinya keramaian di ranah politik dari sisi pencalonan dan perebutan suara publik, Pemilu itu akan semakin semarak. Jadi akan muncul banyak iklan, baliho, alat peraga sosialisasi dua ruang yang mungkin berkaitan dengan ketertiban dan tata ruang di berbagai kota dan kabupaten, jelasnya.
Sistem proporsional terbuka juga menjadikan para caleg sejajar dari segi peluang.
Adanya peluang yang sama antar caleg, menyebabkan persaingan perebutan kursi anggota dewan semakin ketat.
"Ketika kita tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, persaingan antar caleg akan semakin ketat, ujarnya.
Persaingan antar caleg, lanjutnya, tak hanya soal ide dan gagasan, namun bersaing pula dari segi finansial.
Baca juga: Seperti Apa Pertanggungjawaban Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu?
"Para caleg dengan kemampuan finansial tinggi, dapat menggunakan kemampuan finansialnya untuk menggaet suara publik dengan pertimbangan suara tersebut langsung tertuju pada caleg yang bersangkutan, bukan ke partai politik. Karena adanya tarung bebas ini memang membuka peluang lebih besar untuk money politics, ungkapnya.
Kendati peluang money politic lebih besar, kata Kadek Dwita, pengaruh money politic terhadap keterpilihan politisi relatif kecil. Bahkan, pengaruhnya hanya berada di angka 10 persen saja.
"Namun berdasarkan study, pengaruh money politic dalam sebuah pemilihan di kisaran 10 persen saja, tegas Dosen Ilmu Politik di Universitas Udayana ini.
MK Putuskan Proporsional Terbuka
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menetapkan sistem pelaksanaan Pemilu proporsional terbuka. Hal tersebut sesuai putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tentang penolakan permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur tentang sistem pemilu proporsional terbuka.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi RI beberapa waktu yang lalu.
Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa para pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
"Dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009 sampai dengan 2019 partai politik seperti kehilangan peran sentral-nya dalam kehidupan berdemokrasi," ujarnya.
Editor : Pahlevi