Optika.id - Kita mungkin sudah tidak asing dengan barang-barang branded, atau luxury brand seperti Channel, Dior, Hermes, Louis Vuitton, dan lain sebagainya. Luxury brand ini tentunya memiliki pangsa pasar masing-masing dengan design unik, ciri khas dari brand, dan nilai jual yang tinggi.
Baca juga: Penyusunan APBN 2025 Tak Libatkan KPK, Anggaran Makan Siang Gratis Tak Diawasi?
Akan tetapi, gemerlap barang mewah branded ini membuat sebagian orang gelap mata. Tidak sedikit yang menghalalkan segala cara untuk tampil trendi bersama dengan luxury brand tadi. Salah satunya adalah dengan penggunaan barang tiruan alias produk KW sebagai validasi dirinya. Tak jelas kapan pastinya fenomena ini merebak di pasaran.
Produk KW sendiri masih terus diincar oleh penggunanya. Konsep klasik di mana penawaran akan tetap datang karena adanya permintaan terus bergulir. Tren penjualan produk KW dan bajakan sendiri berdasarkan organisasi ekonomi OECD meningkat sebanyak 3,3 persen dari semua perdagangan internasional.
Data tersebut menandakan bahwa pasar penggunanya tak segan dalam menggunakan produk palsu.
Penggunaan produk palsu memang nampak sebagai perbuatan membohongi publik dan membohongi diri sendiri. Sebagian orang yang menggunakan produk KW bertujuan demi mencari validasi semata. Pasalnya, tak sedikit dari penggemar luxury brand ini menganggap barang-barang original berkaitan dengan nilai-nilai dari dalam diri sendiri.
Menurut Psikolog Klinis, A. Kasandra Putranto, fenomena maraknya produk KW ini didasari oleh tekanan sosial. Individu merasa dibebankan untuk memenuhi standar konsumsi yang ditetapkan kelompok agar mereka diterima atau diakui di dalamnya.
Kasandra menjelaskan, ada sebuah tren di mana pembelian barang branded dipandang sebagai simbol status sosial tinggi yang menandai keamanan finansial serta pencapaian mereka. Akan tetapi, pembelian barang branded menurutnya tak melulu dibutuhkan untuk mengejar validasi semata. Seseorang bisa terdorong untuk membeli produk berharga tinggi tersebut sebagai bentuk penghargaan diri saja. Pasalnya, citra berbagai produkhigh endakan mempengaruhi preferensi individu dalam membangun citranya.
Sementara itu, maraknya pertumbuhan industri produk high end KW super ini justru mendapatkan pangsa pasarnya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan permintaan di pasaran. Tekanan sosial ini akhirnya mempengaurhi keinginan agar divalidasi dan mengekor dengan kebutuhan penyesuaian diri terhadap tren.
Baca juga: Begini Cara Memakai Parfum yang Benar Agar Aroma Tak Cepat Hilang
Membeli barang KW dapat menjadi upaya untuk menyesuaikan diri dengan tren dan gaya hidup kelompok sosial tertentu. Dan untuk beberapa orang mungkin merasakan tekanan untuk terlihat lebihfashionableatau tren terkini namun mereka mungkin tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup untuk membeli produk asli, ujar Kasandra dalam keterangannya, Rabu (28/6/2023).
Oleh sebab itu, untuk bisa tampil modis dan berkelas serta aman di kantong, produk KW pun dipilih sebagai alternative yang lebih terjangkau. Belum lagi faktor luasnya media sosial yang saat ini turut mendorong pengaruh tekanan sosial yang bertambah besar bagi sebagian orang. Tak ayal, individu akan membandingkan dirinya sendiri dengan norma kecantikan serta penampilan yang dipromosikan secara tersirat di media sosial. Lagi-lagi, imbuh Kasandra, hal tersebut mempunyai keterkaitan erat dengan kepuasan dari validasi sosial agar hasrat dari pelakunya terpuaskan.
Namun Kasandra menegaskan jika masyarakat perlu sadar bahwa produk branded high end bukan kebutuhan primer maupun sekunder. Sehingga, setiap orang dituntut untuk bijak dalam mengontrol dorongan berbelanja agar tidak menjadi impulsive.
Baca juga: Kondisi Berat dan Pekerjaan Rumah bagi Prabowo-Gibran
Dorongan impulsive ini dari sisi psikologi bisa ditekan dengan membentuk kesadaran diri. Salah satu caranya adalah memberikan jeda waktu untuk berpikir ulang sebelum membeli produk tersier, apalagi bukan kebutuhan primer.
Kasandra menyarankan untuk memberikan jeda waktu agar berpikir secara lebih rasional ketika ingin membeli sesuatu. Tentukan batas waktu misalnya 24 jam atau beberapa hari sebelum benar-benar melakukan pembelian barang tersebut.
Memahami dorongan impulsif juga memberi kesempatan setiap individu untuk berpikir dua kali tentang kondisi finansial, status sosial, dan taraf ekonomi yang sedang disandang. Hasilnya, orang-orang mampu berkaca dengan kemampuan dan prioritas kebutuhannya saat ini, pungkasnya.
Editor : Pahlevi