Optika.id - Baru-baru ini, penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono mengklaim penerapan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) berhasil mengurangi kemacetan di ibu kota sebesar 20%. Sistem AI yang disebut Intelligent Traffict Light System (ITS) telah dipasang sejak April 2023 lalu di sekitar 20 titik persimpangan di Jakarta.
Baca juga: Adian Napitulu Bicara Kans Anies di Pilgub Jakarta!
Hingga saat ini, kemacetan masih menjadi permasalahan serius di Jakarta. Kemacetan di Jakarta disebabkan kombinasi beberapa faktor yang kompleks. Yang paling tampak adalah jumlah kendaraan pribadi di Jakarta yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan peningkatan infrastruktur jalan yang memadai.
Padahal, sebelum Perang Dunia Kedua berkobar, mobil tidak banyak terlihat di jalanan kota Jakarta. Jangankan membeli mengkoleksi sejumlah mobil atau membeli mobil tanpa memiliki garasi, yang memiliki mobil saat itu hanya segelintir orang saja. Itu pun kebanyakan orang-orang Belanda yang menduduki jabatan penting.
Saat itu tidak ada kebiasaan membawa pulang mobil kantor. Tidak ada perusahaan atau lembaga pemerintah yang menyediakan kendaraan untuk karyawannya. Warga Jakarta saat itu berjalan kaki atau naik sepeda kalau hendak bepergian. Tentunya, jalan kaki dan naik sepeda saat itu belum digambarkan sebagai aktivitas orang miskin.
Jarang sekali pelajar atau mahasiswa di antar dengan mobil ke sekolah. Bahkan, mahasiswa dari keluarga kaya paling mentok berangkat ke kampus dengan sepeda motor.
Jika tidak punya sepeda atau malas jalan kaki, warga Jakarta yang saat itu jumlahnya belasan kali lipat lebih kecil dari sekarang memilih bepergian menggunakan kendaraan umum, seperti trem,oplet, atau delman.
Berdasarkan esai Transportasi di Jakarta Tempo Doeloe dalam Majalah Jakarta-Jakarta edisi Mei 1983 yang dikutip Optika.id, Senin (17/7/2023), budaya bepergian dengan mobil pribadi disebut sebagai warisan Belanda. Pasca Jepang kalah Perang Dunia Kedua pada 1945, Belanda berhasrat menguasai kembali Indonesia. Untuk membujuk orang Indonesia agar mau bekerja, di berbagai kantor pemerintah Belanda disediakan berbagai kendaraan bermotor. Di antaranya, bus kantor dan mobil pribadi milik kantor untuk pejabat.
Baca juga: Jakarta Berubah Jadi Korea Utara Gara-Gara Heru Budi
Kenyataannya, Belanda gagal membujuk bangsa Indonesia untuk kembali tunduk. Akan tetapi, Belanda sukses menciptakan budaya kantor pemerintah dan perusahaan swasta menyediakan kendaraan bermotor untuk pejabat atau pegawainya.
Mobil buatan Amerika, seperti Ford, Dodge, Chrysler, Studebaker, Oldsmobile, dan Buick sudah malang melintang di jalanan Jakarta sejak 1950-an. Akan tetapi, belum ada kemacetan atau kecelakaan pada 1950-an, karena jumlah mobil dan sepeda motor masih sedikit. Gejala kemacetan di Jakarta terjadi sejak 1960-an, ketika mobil dan sepeda motor buatan Jepang sudah hilir mudik di jalanan ibu kota.
Namun, distributor mobil, toko onderdil, dan bengkel baru banyak ditemukan di Jakarta pada 1970-an.
Baca juga: Lama Perjalanan ke Kantor Bikin Depresi Karyawan
Kemacetan lalu lintas di Jakarta sudah begitu semrawut pada 1980-an.Bahkan, pengendara yang mencari jalan pintas sendiri justru membuat kemacetan semakin parah. Peningkatan kendaraan pribadi saat itu disebut karena keadaan transportasi umum yang jelek dan rawan perampokan.
Paragraf pembuka esai Siapa Berani Mulai Berdisiplin? yang terbit di Majalah Jakarta-Jakarta edisi Mei 1983 sedikit banyak menggambarkan kemacetan saat itu.
Bila Anda keluar rumah untuk pergi ke tempat kerja, belajar atau belanja, pagi, siang, sore, naik sepeda, atau menumpang kendaraan bermotor, sangat boleh jadi Anda segera menemukan, jalan yang Anda lewati penuh sesak dengan pemakai jalan. Jika pemakai jalan yang memadati jalan itu tidak bisa bergerak, entah maju entah mundur, keadaan demikian disebut macet, tulis artikel tersebut.
Editor : Pahlevi