Muncul Matahari Kembar di PDIP: Ada yang Loyal ke Jokowi, Kader Senior Coba Lepaskan Belenggu Megawati

Reporter : Eka Ratna Sari

Optika.id - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menyatakan bahwa kunjungan Budiman Sudjatmiko ke kediaman Prabowo Subianto tidak hanya sekadar kunjungan biasa. Baginya, kunjungan tersebut menyiratkan dukungan terhadap Ketua Umum Partai Gerindra.

Baca juga: PDIP Tegaskan Tak Kekurangan Stok Pemimpin untuk Pilkada Jawa Tengah

"Kader PDIP yang secara tersirat mendukung Prabowo Subianto semakin bertambah. Sebelumnya, Effendi Simbolon telah menyatakan dukungannya, dan sekarang giliran Budiman Sudjatmiko," ujar Jamiluddin kepada wartawan pada Kamis (20/7/2023).

Menurut Jamiluddin, penegasan dari Budiman semakin memperkuat indikasi adanya perpecahan di internal PDIP dalam mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Hal ini menandakan bahwa beberapa kader senior PDIP kini semakin berani menunjukkan sikap yang berbeda dengan keputusan Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri.

Jamiluddin menduga bahwa beberapa kader PDIP secara terbuka menunjukkan sikap berbeda dengan Megawati karena ada dua alasan. Pertama, ada sebagian kader senior yang tidak sepenuhnya lagi mematuhi keputusan Megawati. Mereka keluar dari "belenggu" superioritas Megawati dan lebih kritis dalam melihat keputusan-keputusannya, termasuk keputusan mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres.

Alasan kedua adalah munculnya "matahari kembar" di PDIP, yaitu Megawati dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Kehadiran "matahari kembar" ini menyebabkan tingkat kesetiaan kader terbagi, ada yang lebih loyal kepada Megawati, tetapi ada juga yang lebih setia kepada Jokowi.

"Mungkin saja, kader PDIP yang tidak mendukung Ganjar lebih loyal kepada Jokowi. Mereka lebih menunggu arahan dari Jokowi daripada mengikuti keputusan Megawati," tambah Jamiluddin.

Nantinya, adanya "matahari kembar" ini berpotensi melemahkan kepemimpinan Megawati di PDIP.

"Sebagian kader PDIP tidak lagi sepenuhnya mendukung keputusan Megawati. Akibatnya, mesin partai tidak maksimal dalam mengamankan keputusan-keputusan Megawati," lanjut Jamiluddin.

"Jika ini benar terjadi, maka peluang Ganjar untuk menang dalam Pilpres 2024 akan semakin kecil. Harapan PDIP untuk meraih hattrick bisa jadi hanya tinggal angan-angan," sambungnya.

Baca juga: Ini Kata PDIP Soal Pelegalan Politik Uang di Pemilu

Selain itu, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC), Khoirul Umam, juga melihat adanya indikasi perpecahan di internal PDIP setelah kunjungan Budiman Sudjatmiko ke kediaman Prabowo Subianto.

Menurutnya, kunjungan Budiman pada Selasa (18/7) ke Kertanegara menunjukkan bahwa barisan internal PDIP yang tengah mengusung Ganjar Pranowo semakin terpecah.

"Di saat yang sama, pernyataan Budiman yang menekankan pentingnya pemimpin militer, senior, dan berpengalaman dalam menghadapi ketidakpastian global, juga dengan jelas menunjukkan dukungannya pada pencapresan Prabowo di Pilpres 2024 mendatang," ujar Umam dalam keterangannya pada Kamis (20/7/2023).

Umam melihat bahwa manuver Budiman mengunjungi Ketua Umum Partai Gerindra ini tampaknya berada di luar kendali PDIP.

Umam menduga bahwa Budiman melakukan manuver ini sebagai reaksi terhadap upaya pihak-pihak tertentu di internal PDIP yang mencoba untuk mengabaikan peran Budiman di partai.

Baca juga: PDIP Tugaskan Ganjar untuk Pemenangan Pilkada Serentak

"Hal ini diindikasikan oleh kurangnya posisi pencalonan yang layak bagi Budiman, serta tidak melibatkannya dalam tim pemenangan pencapresan Ganjar Pranowo. Oleh karena itu, Budiman merasa bebas dan memilih untuk menjadi 'partikel bebas' yang tidak ingin diatur oleh aturan organisasi partai PDIP," jelas Umam.

Umam menyatakan bahwa merapatnya Budiman ke Prabowo juga menunjukkan tanda-tanda konsolidasi yang semakin kuat dari kalangan mantan aktivis 98 yang berada di lingkaran Prabowo.

"Hal ini tentu merupakan situasi yang unik dan ironis. Unik karena Prabowo akhirnya berhasil meyakinkan simpul-simpul jaringan kekuatan yang sebelumnya sangat efektif dalam menghadangnya dalam Pilpres 2014 dan 2019. Namun, juga ironis karena sejarah Reformasi 1998 juga mewariskan tanggung jawab moral perjuangan kepada jaringan aktivis 98 yang kini bertransformasi menjadi politisi dan sel-sel relawan," jelas Umam.

"Manuver ini tentunya akan menimbulkan kekecewaan besar dari masyarakat yang masih menghargai sejarah Reformasi, namun politik saat ini telah mengalami perubahan," tambahnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru