Optika.id - Masih segar ingatan warganet perihal Bima yang mengkritik jalanan di Lampung. Bima, dengan protesan yang dianggap kritis tersebut menyentil wilayah asalnya tersebut yang dianggap tidak melakukan pembenahan di bidang infrastruktur. Kritik yang disampaikan oleh Bima di TikTok tersebut pun viral sehingga menjadi perhatian publik dan pemerintah.
Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!
Mirisnya, pemerintah Lampung justru melakukan doxing dan intimidasi terhadap Bima. Dalam videonya Bima menyebut jika dirinya saat ini khawatir dengan keselamatan keluarganya di Lampung.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh SAFEnet, doxing kerap menimpa orang-orang yang profesinya kritis terhadap kebijakan pemerintah. SAFEnet menyebut bahwa kelompok yang kerap mendapat doxing adalah aktivis dengan 50 kasus, kemudian warga biasa sebanyak 34 kasus, mahasiswa 27 kasus, 25 jurnalis mengalami doxing, lembaga pemerintah 17 kasus, pegawai swasta sebanyak 12 kasus, organisasi masyarakat sebanyak 10 kasus, serta aparatur sipil negara (ASN) dengan dua kasus doxing.
Untuk diketahui, doxing merupakan tindakan menyebarkan informasi pribadi orang lain, tanpa izin dari pihak yang bersangkutan dan biasanya digunakan untuk memperoleh segala jenis informasi dan data dari orang yang bersangkutan serta dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab.
SAFEnet menyebut jika doxing saat ini digunakan untuk membungkam atau menggembosi gerakan aktivisme masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, pengamat pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai apabila doxing dibiarkan secara terus menerus maka bisa berdampak pada anarkisme digital, apalagi mendekati tahun Pemilu 2024 nanti.
Ini bisa menjadi ancaman bagi demokrasi, bagi instasi negara juga, tutur Khairul, Kamis (20/7/2023).
Apabila pemerintah tidak segera memperbaiki iklim digital dengan membuat regulasi khusus yang mengatur sanksi bagi para pelaku kejahatan siber seperti doxing ini, Khairul menyebut jika hal ini dapat memperburuk suasana demokrasi tanah air. Apalagi, terduga pelaku doxing rata-rata dilakukan oleh aparat pemerintah dengan kroni-kroninya seperti buzzer.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah kejahatan digital seperti tindak doxing ini yakni Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dengan catatan harus untuk kebaikan bersama, bukan sekadar menjadi alat represif baru yang dilegitimasi oleh pemerintah.
Dihubungi secara terpisah, pakar keamanan siber Pratama Dahlian Persadha yang akrab disapa Pratama ini menilai jika praktik doxing berdampak fatal bagi korban lantaran penyebaran data pribadi seseorang bisa menimbulkan masalah yang besar dan tidak bisa dianggap enteng.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Karena bisa membuat reputasi dan harga diri rusak, kepercayaan diri hilang, trauma mendalam, depresi, hingga bukan tak mungkin sampai muncul keinginan bunuh diri karena merasa seperti diteror. Kata Pratama kepada Optika.id, Kamis (20/7/2023).
Sementara itu, Pratama menyarankan agar semua pihak bisa menghormati segala perbedaan pandangan yang ada di media sosial agar terhindar dari praktik doxing. Di sisi lain, aparat kepolisian juga harus tegas menindas pelaku doxing.
Sangat berbahaya untuk kehidupan bertanah air, terutama di ranah digital. tegasnya
Pratama mengingatkan bahwa pelaku doxing bisa kena sanksi kendati belum ada aturan khusus terkait doxing. Namun, menurut Pratama pelaku doxing bisa terjerat Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Doxingjuga melanggar UU Kependudukan (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013) karena menyebarkan biodata warga negara, dengan tujuan menakut-nakuti serta mengancam, ujar Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) itu.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Meskipun pelaku doxing bisa dijerat dengan UU ITE, namun menurut Ketua Cyber Law Center dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad), Sinta Dewi Rosadi, hukuman yang diatur dalam UU ITE tidak tegas menyasar pelaku doxing dan masih rancu.
Pasal 26 ayat 1 UU ITE menyebut, penggunaan informasi terkait data pribadi harus dilakukan atas persetujuan. Sedangkan dalam Pasal 26 ayat 2 UU ITE menyebut, seseorang yang disebarkan informasi identitasnya dapat mengajukan gugatan bila tak ada persetujuan. Katadoxingitu kan enggak ada, di dalam delik pidana katadoxingitu baru, ujar Siti saat dihubungi, Kamis (20/7/2023).
Maka dari itu dia menyarankan agar pemerintah kembali menggodok regulasi yang spesifik dalam melindungi warga dari tindak kejahatan doxing. Hal ini supaya kebebasan warga dalam menyampaikan pendapat bisa aman dan nyaman tanpa ancaman sehingga demokrasi bisa terwujud di Indonesia.
Karena UU ITE itu terlalu luas, terlalu umum, sehingga belum bisa mengatur kejahatan spesifik, tutur Siti.
Editor : Pahlevi