Mengenal Tanah Partikelir pada Era Kolonial

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Tanah partikelir atau particuliere landen merupakan tanah milik pemerintah kolonial yang dijual atau disewakan kepada pihak swasta oleh pemerintah kolonial. Yang membedakan kepemilikan tanah partikelir dengan tanah pada umumnya adalah penyewa atau pemilik tanah tidak hanya berhak menguasai tanah serta tumbuhan yang ditanam disana, tetapi juga berhak untuk menguasai penduduk yang tinggal di dalamnya.

Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

Praktik tanah partikelir muncul sekitar abad ke-17 pada masa pemerintahan VOC, yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Para pemilik tanah partikelir mendapatkan hak-hak istimewa (landeigenaar) atau hak-hak pertuanan yang serupa dengan hak-hak yang dimiliki pemerintah kolonial. Dengan adanya hak pertuanan tersebut, pemilik tanah dapat bertindak sebagai penguasa setempat.

Menurut UU No. 1 Tahun 1958 Pasal 1, Ayat 1b, yang menjelaskan bahwa hak-hak pertuanan adalah hak untuk; mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta memberhentikan kepala desa atau kepala umum; menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk; mengadakan pungutan baik berupa uang maupun hasil tanah dari penduduk;mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.

Sistem tanah partikelir resmi dilarang di Indonesia dengan dikeluarkannya UU no. 1 tahun 1958 yang berisi mengenai Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Sikap tuan tanah yang sewenang-wenang membuat terjadinya banyak pemberontakan petani berskala besar di tanah partikelir seperti Gerakan Cikandi Udik (1845), Ciomas (1886), dan Ciampea (1892).

Robert Cribb dalam bukunya Gangsters and Revolutionaries: Jakarta Peoples Militia and the Indonesian Revolution, 1945- 1949, dikutip Optika.id, Kamis (27/7/2023) menjelaskan jika tanah partikelir dapat dikatakan menyerupai negara bagian yang kecil. Para ahli hukum Belanda pada awal abad ke-20 mengatakan bahwa tanah partikelir memiliki kedaulatan yang sama dengan kerajaan yang diperintah secara tidak langsung di seluruh Nusantara.

Tuan tanah bertanggung jawab atas pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial lainnya di dalam tanah milik mereka, biasanya mereka tidak memenuhi tanggung jawab tersebut. Tuan tanah hanya mendapatkan sedikit keuntungan dari mendidik penduduknya, sehingga sebagian besar penduduk tersebut mengalami buta huruf.

Sementara itu, standar kesehatan dan kebersihan mereka sangatlah buruk sehingga mengundang banyak penyelidik untuk menyelidiki masalah tersebut dan menarik perhatian pemerintah kolonial. Pemilik tanah juga memberikan berbagai jenis pajak atas para petani atau penggarap di tanah tersebut.

Salah satu contohnya adalah petani diwajibkan untuk menyediakan kompenian (jasa kompeni) kepada tuan tanah mereka sebanyak enam puluh hari kerja tanpa bayaran yang dilakukan sekali setiap tahun, menyesuaikan dengan kebutuhan tuan tanah. Para petani juga menyerahkan seperlima atau lebih panen beras mereka kepada tuan tanah mereka dan membayar pajak lainnya seperti pajak bangunan, ladang, hingga pohon.

Terlebih lagi, menurut hukum ommelanden (kawasan pinggiran), mereka diwajibkan mendapatkan izin dari tuan tanah untuk memanen ladang mereka, dan izin tersebut hanya diberikan jika petani telah membayar semua pajak mereka.Hal tersebut menyulitkan para petani yang tidak memiliki uang pada sebelum masa panen. Akibatnya mereka harus berurusan dengan rentenir yang seringkali bekerja sama dengan tuan tanah.

Tanah partikelir diperkenalkan pada tahun 1620, dan awalnya tanah partikelir tidak diperjual belikan oleh pemerintah VOC. Tanah-tanah partikelir diberikan kepada pengurus, teman, dan orang yang dianggap berjasa dalam menjaga keamanan dan ketentraman wilayah Batavia, termasuk kepala orang pribumi (inlandsch hoofden) yang berjasa kepada VOC.

Pemberian tanah partikelir merupakan hal yang umum pada masa awal kekuasaan VOC, karena luasnya wilayah kekuasaan VOC membuat pengawasan atau pengamanan tiap wilayahnya cukup sulit mengingat kekuasaan mereka baru saja berdiri. Karena itu dengan pemberian tanah partikelir, diharapkan sang pemilik tanah mampu menjaga keamanan serta ketentraman tanah yang telah diberikan.

Setelah kedudukan VOC semakin menguat, pemberian tanah-tanah partikelir dihentikan dan mulai diperjual belikan secara terbuka. Sistem transaksi seperti penawaran dan penaksiran dilakukan secara terbuka dan dapat dilakukan oleh semua orang seperti kaum Tionghoa dan Pribumi. Namun pembeli yang merupakan orang Belanda lebih diprioritaskan karena loyalitasnya kepada VOC tidak dapat diragukan.

Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa

Selain itu, sistem tanah partikelir mulai tersebar hingga mencakup satu wilayah, seperti di wilayah Jawa Barat. Contohnya adalah tanah partikelir di wilayah Karawang yang sebagian ditanami padi, dengan beberapa tanaman sayur dan buah. Di bagian selatan, di kaki bukit yang terbentang mulai dari Cisarua hingga Purwokerto dan Subang didominasi oleh perkebunan karet yang diselingi dengan beberapa hutan jati.

Pasca VOC bangkrut dan kekuasaan beralih ke pemerintah kolonial Belanda, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang seorang liberal berusaha menghapus praktek-praktek yang berbau feodal, seperti kebijakan kerja rodi dan penjualan tanah partikelir.

Namun penghapusan praktek tersebut berdampak buruk bagi perekonomian Hindia Belanda. Kas pemerintahan yang kosong membuat Daendels mengajukan pinjaman uang kepada pemerintah Belanda. Daendels kemudian mengambil langkah ekstrim dengan menyetujui pencetakan uang hingga mencapai 4 juta rijksdaalder pada tahun 1811, yang menyebabkan terjadinya inflasi besar-besaran. Menghadapi permasalahan tersebut, jalan satu-satunya adalah menerapkan praktek penjualan tanah partikelir.

Akhirnya tanah-tanah di sekitar Bogor, Jasinga, dan beberapa wilayah Banten dijual kepada pihak swasta dengan status tanah partikelir. Kemudian kekuasaan Belanda berpindah ke tangan Inggris dengan Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal. Raffles, layaknya Daendels, merupakan seorang liberalis sehingga ia berusaha untuk mengubah atau menghapuskan kebijakan yang dianggap berbau feodal.

Raffles mencoba untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih bebas tanpa adanya paksaan berdasarkan pengalamannya di India. Raffles kemudian menerapkan sistem land rent (sewa tanah) yang dimana petani atau penggarap dianggap sebagai tenant atau penyewa dan wajib membayar sewa tanah kepada pemerintah Inggris yang menjadi tuan tanah tersebut. Namun sistem land rent tidak dapat memberikan pemasukan yang cukup untuk pemerintah Inggris, sehingga Raffles mulai menjual tanah-tanah partikelir kepada pihak swasta.

Setelah kekuasaan di Hindia Belanda kembali ke tangan Belanda pada tahun 1819 dengan Baron Van der Capellen sebagai Gubernur Jenderal, sistem tanah partikelir dihentikan. Van der Capellen tidak ingin menerapkan sistem tanah partikelir, mengingat banyaknya kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir antara petani atau penggarap dengan tuan tanah, dan dia juga berusaha untuk membeli kembali tanah-tanah partikelir.

Baca juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel

Namun upaya Van der Capellen untuk membeli kembali tanah partikelir tidak dapat berjalan karena kurangnya dana yang dibutuhkan serta pemanggilannya kembali ke Belanda akibat dianggap kurang berhasil menjadikan Hindia Belanda sebagai sumber ekonomi Belanda.

Penjualan tanah partikelir kepada swasta berlanjut setelah Van der Capellen digantikan oleh Leonard Pierre Joseph du Bus de Gesignies pada tahun 1826. Sebenarnya penjualan taah partikelir tersebut hanya lanjutan dari transaksi penjualan tanah partikelir yang dibatalkan oleh Van der Capellen pada masa pemerintahannya. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch yang diangkat pada tahun 1830, sistem tanah partikelir dihentikan dan digantikan oleh cultuurstelsel atau dikenal dengan sistem tanam paksa.

Sistem tersebut mewajibkan petani untuk menanami seperlima lahannya dengan tanaman ekspor seperti kopi, tebu dan tembakau. Sistem tanam paksa dianggap lebih menguntungkan daripada sistem tanah partikelir, dan menjadikan neraca perdagangan Hindia Belanda selalu dalam posisi 9 batig slot (saldo surplus).

Meski begitu, pemerintah tidak memiliki rencana untuk membeli kembali tanah partikelir untuk dijadikan lahan tanam paksa. Pada tahun 1870, pembentukan tanah partikelir mulai dihapuskan dengan naiknya kaum liberal ke panggung pemerintahan Belanda, namun terdapat beberapa tanah partikelir yang masih berjalan hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1942.

Di tahun yang sama, dibuatlah Agrarische Wet (UU Agraria) untuk melindungi hak milik petani dan mencegah munculnya sistem-sistem yang menyengsarakan petani maupun penduduk

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru