Kuasa Rezim Politik Menggilas Musik dan Budaya

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Politik dan musik, meskipun bidang yang berbeda, terkadang juga beririsan bahkan saling mengintervensi satu sama lain, apalagi rezim berkuasa mengatur dan memberangus sesuatu. Tak jarang, dalam sepak terjangnya berkarya, musisi kena imbas dari ranah politik rezim yang bertentangan, atau karena musisi tersebut getol mengkritik kebijakan dari penguasa itu sendiri.

Baca juga: Ganjar Ungkap Anak Muda Harus Belajar Kepemimpinan Soekarno, Apa Itu?

Misalnya, apa yang dialami oleh Koes Bersaudara yang dipenjara karena bermusik, tak terlepas dari semangat revolusi kebudayaan yang saat itu tengah digencarkan oleh rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno.

Dalam pidato bertajuk Penemuan Kembali Revolusi Kita, Bung Karno, sapaan terkenal dari Soekarno menyebut anak-anak muda saat ini gandrung karena keracunan musik rock n roll, dansa, dan musik yang disebutnya sebagai ngak ngik ngok.

Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya antiimperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik. Kenapa di antara engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau, banyak yang masihrock n roll-rock n roll-an,dansa-dansianalacha-cha-cha,musik-musikanalangak ngik ngok,gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi, kata Bung Karno dalam pidatonya, disampaikan pada 17 Agustus 1959 di Istana Merdeka, Jakarta.

Pada peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1965, Soekarno pun mengulang kembali dengan menunjukkan alerginya terhadap musik dari Barat. Pidato tersebut disampaikan olehnya di hadapan Corps Gerakan Mahasiswa Indonesia.

Jangan seperti kawan-kawanmu, Koes Bersaudara. Masih banyak lagu Indonesia, kenapa mestiElvis-Elvisan? kata Bung Karno dalam pidatonya.

Koes Bersaudara memang kadung dilekatkan pada kesan The Beatles. Menurut buku Musisiku, Koes Bersaudara lantas dicap antirevolusi dan berseberangan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang pengaruhnya kuat pada masa Orde Lama.

Soal penerapan kebijakan pelarangan musik zaman Soekarno, Muhammad Mulyadi telah menyinggungnya dalam buku Industri Musik Indonesia: Suatu Sejarah. Mulyadi memberi contoh, Radio Republik Indonesia (RRI) yang berstatus sebagai lembaga penyiaran pemerintah menjalankan program Pembangunan Semesta Berencana Indonesia dengan visi, musik serta lagunya merupakan sebagian dari kebudayaan yang membangun mental.

Alhasil, RRI melarang pemutaran musik yang dianggap bisa mengancam dan merusak kepribadian bangsa. Salah satu yang dilarang saat itu adalah memutar piringan hitam lagu Diah Iskandar.

Baca juga: Dosa-dosa Rezim Jokowi Diungkap Mahkamah Rakyat Luar Biasa, Apa Saja itu?

Alasannya, menurut Mulyadi, nyanyian Iskandar berirama twist dan dianggap meniru seorang penyanyi asal Barat yakni Conny Francis.

Hal itu termasuk dalam kategori lagu-lagu yang tidak sesuai kepribadian bangsa, tulis Muhammad Mulyadi dalam bukunya, dikutip Optika.id, Minggu (30/7/2023).

Tak hanya Diah Iskandar dan Koes Bersaudara yang terkena imbasnya, beberapa grup musik dan penyanyi pun berbondong-bondong mengubah nama mereka yang sebelumnya kebarat-baratan, menjadi nama Indonesia.

Misalnya, Gerly Sitompul yang berubah menjadi Mawar Sitompul, Jack Lesmana yang sebelumnya bernama Jack Lemmers, The Alulas mengubah namanya menjadi Aneka Nada dan The Rhythm yang menjadi Puspa Nada.

Pembatasan tersebut dikarenakan Soekarno yang menilai jika tumbuhnya band Indonesia yang terpengaruh musik Barat bisa memaparkan dampak yang negatif bagi pemuda yang saat itu disuntik semangat nasionalisme. Maka dari itu, pemerintah Orde Lama memutuskan untuk menerapkan kebijakan dengan dalih melindungi kebudayaan nasional dari paparan pengaruh asing.

Baca juga: Musik Sedih Bisa Berpengaruh Terhadap Kondisi Emosional Lho!

Kendati demikian, ada efek positif dari pelarangan musik Barat zaman Soekarno. Misalnya, berkembang lagu daerah yang dikemas dalam alunan pop seperti yang dilakukan oleh Teruna Ria yang mempopulerkan lagu Bengawan Solo dengan sentuhan irama pop keroncong. Kemudian aransemen Ampar-Ampar Pisang dan Saputangan Bacumbu Ampa yang diubah oleh Taboneo jadi lagu pop Kalimantan.

Tak hanya itu, Lilis Surjani pun mempopulerkan lagu pop Sunda yang berjudul Neng Geulis dan Es Lilin. Tak ketinggalan, Diah Iskandar pun turut menyanyikan lagu Beas Beureum.

Namun, Mulyadi menyeut jika kebijakan kebudayaan yang anti Barat ini tidak konsisten dijalankan. Hal ini terlihat dari perayaan malam pentas amal Parahyiangan di Istora Senayan pada 1 September 1964. Saat itu, putera Soekarno, Guntur Soekarno Putra membawakan lagu berirama Spanyol dan Amerika Latin bersama dengan grup Aneka Nada. Padahal, irama Spanyol dan Amerika Latin juga masuk dalam golongan irama 'cha cha cha' dan ngak ngik ngok yang disinggung oleh Soekarno berulang kali.

Kemudian musik jazz yang berasal dari Amerika tidak dilarang, bahkan disiarkan setiap malam oleh RRI, tutur Mulyadi.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru