Merebut Hak Atas Tanah di Kediri

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Permasalahan tanah adalah persoalan kompleks yang selalu melanda Indonesia. Sejak zaman penjajahan hingga merdeka pun, sektor agraris masih sering menjadi persoalan serius yang dihadapi oleh pemerintah.

Baca juga: Menelusuri Jejak Sisi Lain Kota Kediri

Begitu pun yang dialami Indonesia pasca meraih kemerdekaannya, di mana masih ditemui berbagai permasalahan di sektor agraria. Meskipun pada saat itu, telah terdapat suatu undang-undang warisan pemerintah kolonial yang mengatur tentang persoalan agraria. Namun, kehadiran undang-undang tersebut dinilai belum mampu mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tanah di Indonesia.

Pada tahun 1948, pemerintahan di bawah Presiden Soekarno mulai merencanakan pembentukan undang-undang baru yang mengatur tentang persoalan tanah di seluruh wilayah Indonesia. Sebab pemerintah ingin segera menyelesaikan persoalan ini karena pengaruhnya terhadap produksi pertanian yang sangat besar. Di mana pada waktu itu, sektor pertanian menjadi salah satu sumber pemasukan bagi kas negara.

Dua belas tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 September 1960, Presiden Soekarno mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria sebagai pengganti undang-undang warisan pemerintah kolonial yang telah ada sebelumnya.

Terbitnya undang-undang ini menjadi tonggak bagi kaidah hukum agraria di Indonesia. Sebab semua hal yang berkaitan dengan urusan pertanahan di Indonesia diatur dalam undang-undang tersebut. Pemerintah berharap dengan terbitnya undang-undang tersebut dapat menyelesaikan persoalan agraria yang telah lama menjadi polemik di dalam negeri dari masa ke masa.

Pasca pengesahan undang-undang tersebut baru lah pemerintah mulai menerapkan program landreform. Adanya program tersebut menurut Noer Fauzi Rachman dalam bukunya landreform dari Masa ke Masa, dikutip Optika.id, Minggu (30/7/2023) bertujuan agar tidak terdapat lagi kelas tuan tanah dan petani yang tidak memiliki tanah melalui memberikan tanah milik kepada para petani untuk digarap. Mengingat pada masa penjajahan, pembagian kelas antara tuan tanah dan petani sangatlah mencolok. Dan juga banyak petani yang menderita kemiskinan karena tidak memiliki lahan untuk digarap.

Untuk itu, program landreform ini diluncurkan untuk menghapus penderitaan para petani dan mengupayakan kesejahteraan mereka dengan mengatur pembagian tanah yang tersedia sehingga tidak lagi ditemui petani tanpa tanah atau bahkan tidak memiliki tanah.

Pulau Jawa merupakan wilayah di Indonesia yang sangat erat sekali dengan persoalan agraria. Sebab lahan-lahan di pulau Jawa dikenal sebagai lahan yang subur dan sangat cocok ditanami berbagai komoditas tanaman.

Maka dari itu, banyak pihak yang berlomba-lomba untuk dapat menguasai tanah di pulau Jawa. Alhasil dari sini akan terdapat banyak sekali ketimpangan antara luas tanah yang tersedia dengan jumlah penduduk di pulau Jawa.

Ketika UUPA mulai diterbitkan dan program landreform mulai diluncurkan oleh pemerintah, terjadi perombakan secara besar-besaran terhadap struktur kepemilikan lahan di pulau Jawa. Salah satu wilayah di pulau Jawa yang menjadi tempat diterapkannya program landreform adalah Kediri.

Wilayah Kediri telah dikenal sejak lama sebagai wilayah dengan kondisi lahan yang subur dan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh letak geografis Kediri yang diapit oleh dua gunung berbeda sifat, di sebelah timur ada Gunung Kelud yang bersifat vulkanik, dan di sebelah barat ada Gunung Wilis yang bersifat non vulkanik.

Dalam kurun waktu tahun 1950-an, kondisi pertanahan di Kediri sangat sarat dengan persoalan yang sangat rumit. Lahan-lahan yang tersedia kebanyakan hanya dikuasai oleh beberapa pihak saja sehingga terdapat para petani yang tidak memiliki lahan dan hanya menggantungkan hidup dengan menggarap lahan milik orang lain.

Baca juga: Obral Kursi Menteri Untuk AHY dan Demokrat yang Pikun Konflik Agraria

Meskipun, pada saat itu urusan tanah di Kediri diatur menurut undang-undang agraria warisan dari pemerintah kolonial, tetapi persoalan mengenai kepemilikan tanah belum dapat terselesaikan. Barulah setelah UUPA resmi diterbitkan, kemudian pemerintah mulai menjalankan program landreform ke deaerah-daerah, termasuk di Kediri.

Reninta Kusuma Ranti dalam skripsinya yang berjudul Dampak Landreform bagi Petani di Kediri, Jawa Timur tahun 1960-1966 menulis bahwa persiapan pun mulai dilakukan mulai dari penetapan aturan-aturan, sosialisasi kepada masyarakat, dan persiapan aparatur untuk pelaksananya. Dengan demikian, program ini diharapkan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Menurut Surat Keputusan Mentri Pertanian dan Agraria, No. SK.35/KA/1962 setelah persiapan selesai dilakukan, kemudian pemerintah mulai menetapkan panitia pelaksana landreform yang terdiri dari panitia tingkat pusat hingga ke tingkat desa-desa. Di mana seluruh tugas dan wewenang panitia tersebut telah diatur sepenuhnya di dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh pihak kementrian pertanian dan agraria. Maka, baik panitia di tingkat pusat hingga di tingkat desa saling berkoordinir dalam pelaksanaan program landreform tersebut.

Setelah terbentuknya panitia, langkah selanjutnya yang dilakukan ialah melakukan pengukuran serta pendataan atas tanah-tanah yang tersedia. Tanah yang akan diredistribusi adalah jenis tanah yang masuk dalam kategori tanah berlebih, tanah absentee, tanah swapraja, dan tanah milik negara.

Lalu langkah berikutnya ialah mendata para petani yang berhak mendapatkan jatah redistribusi tanah dari pemerintah. Pendataan terhadap para petani ini dilakukan menurut tingkat kesejahteraan masing-masing petani.

Maka, setelah itu baru tanah mulai dapat di redistribusi untuk dikelola oleh para petani tersebut. Disamping itu, kompensasi final terhadap tanah berlebih dan tanah absentee ditentukan oleh panitia landreform menurut rata-rata penghasilan bersih per hektarnya dalam kurun lima tahun terakhir.

Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

Sejak pemberlakukan program landreform semua jumlah tanah diatur sesuai ketentuan undang-undang, begitu pun dengan luas maksimum kepemilikan tanah. Di wilayah Kediri, luas maksimum tanah yang dapat dimiliki ialah sebanyak 5 hektar untuk tanah sawah dan 6 hektar untuk tanah kering.

Selain itu, juga diberlakukan sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan para petani. Di Kediri, sistem bagi hasil dapat berjalan dengan baik dan dari kedua pihak pun sama-sama mendapatkan keuntungan dari sistem bagi hasil tersebut.

Secara keseluruhan pelaksanaan landreform di Kediri dapat berjalan dengan baik. Para petani yang menerima redistribusi tanah dari pemerintah semakin mengalami peningkatan jumlah. Mengingat redistribusi tanah di Kediri lebih banyak berasal dari tanah berlebih sehingga pembagian tanah pun dapat dilakukan semaksimal mungkin.

Namun, pelaksanaan landreform dinilai masih terlalu lambat dan terlalu berbelit-belit. Akibatnya, beberapa petani ada yang melakukan aksi sepihak yaitu mengambil alih kekuasaan tanah dari para tuan tanah. Mereka cenderung tidak sabar dalam mengikuti prosedur redistribusi lahan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aksi yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) ini menuding bahwa tuan tanah sengaja menghambat proses redistribusi tanah.

Peristiwa ini sempat menimbulkan pergolakan dan sedikit menghambat proses landreform di Kediri. Sampai akhirnya pada tahun 1966, penerapan program landreform di Kediri secara resmi diberhentikan.

Hal ini dikarenakan situasi negri yang sedang tidak kondusif pasca terjadinya tragedi pembunuhan para jendral angkatan darat. Di mana PKI yang dituduh menjadi dalang dibalik tragedi tersebut sehingga pemerintahan berikutnya di bawah Presiden Seoharto mulai menghentikan program landreform tersebut. Sebab program ini sering dijadikan sebagai bahan propaganda oleh PKI untuk mengangkat derajat kaum tani dan menyingkirkan tuan tanah.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru