Anak Muda yang Melawan Penjajah dengan Pena

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Lahir dan munculnya pers bumi putera secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sebagian mendapat dorongan kuat dari munculnya perhimpunan-perhimpunan yang bercorak nasionalis.

Baca juga: Larangan Jurnalisme Investigasi, Anggota DPR Sebut Itu Tak Melarang

Pada tahun 1908, lewat pengaruh organisasi-organisasi nasionalis seperti Boedi Oetomo Sarekat Islam (SI/1912) lahir pers yang bercorak nasionalis. Sebagian lainnya dipengaruhi oleh semakin meluasnya sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial.

J.D. Legge dalam bukunya yang berjudul Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan dikutip Optika.id, Senin (31/7/2023) menjelaskan jika anak-anak bumi putera yang belajar di sekolah-sekolah pemerintah, terjalin rasa senasib dan setia kawan di antara mereka akibat perlakuan rasisme pemerintah kolonial. Perasaan ini ditunjang dengan timbulnya gagasan nasionalisme yang sebagian hasil dari pembacaan ideologi-ideologi Barat.

Gagasan-gagasan ini menumbuhkan keinginan kaum terpelajar untuk menuangkan ide-ide mereka, dan untuk mewujudkannya diperlukan adanya sarana atau wadah yaitu berupa pers (surat kabar).

Kaum terpelajar yang juga disebut priyayi baru ini kebanyakan dari tingkat lebih rendah daripada kaum elit gubermen lama. Mereka menekankan perlunya kemajuan dan modernisasi tanpa mengingkari latar belakang kebangsaannya.

Rasa persatuan yang terjalin di kalangan kaum terpelajar yang menamakan dirinya Kaoem Moeda ditambah dengan realitas sosial bangsanya yang banyak mengalami kesengsaraan dan kehinaan akibat rendahnya tingkat pendidikan, menimbulkan kesadaran kaum terpelajar bumi putera untuk meningkatkan pendidikan dan mengentaskan bangsanya dari kehinaan.

Melalui wadah surat kabar, Kaoem Moeda menyalurkan aspirasi berupa kekecewaan atas kebijakan pemerintah kolonial yang dinilai menyengsarakan rakyat. Seperti Ki Hajar Dewantara yang berusaha melakukan penyadaran politik melalui peningkatan pendidikan.

Surat kabar bumi putera pertama di Surabaya adalah Oetoesan Hindia yang diterbitkan oleh Hendelmij Setija Oesaha berafiliasi dengan Sarekat Islam. Pertama kali terbit pasca Kongres I Sarekat Islam di Surabaya pada 16 Januari 1913.

Pimpinan surat kabar tersebut adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto selaku redaktur. Surat kabar tersebut terbit dua hari sekali. Berita-beritanya memuat tentang pergerakan dunia, politik, perekonomian, dan perburuan.

Serikat Penerbit Surat Kabar Cabang Jawa Timur dalam buku Sejarah Pers di Jawa Timur menyebut jika salah seorang wartawan surat kabar tersebut, Tirtodonorejo dengan nama samaran T. D. Sandinama sering menulis artikel-artikel yang menunjukkan ketimpangan-ketimpangan dan melontarkan kritik kepada pemerintah kolonial.

Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

Tulisan-tulisannya yang amat tajam dan seringnya mengkritik pemerintah Kolonial Belanda membuatnya, membuat Tirtodonorejo dikenal dalam kalangan luas sebagai Raja Pers Delict.

Sejak beberapa dekade tahun 1900, surat kabar-surat kabar yang lahir di Surabaya semakin gencar memberitakan perlawanan dan kerusuhan akibat kebijakan pemerintah yang merugikan petani, terutama kerusuhan di sekitar daerah-daerah perkebunan di Jawa Timur.

Semakin radikalnya tulisan-tulisan yang diberitakan surat kabar mengakibatkan timbulnya sikap kebencian pemerintah kolonial sehingga banyak redaktur yang ditahan dengan berbagai dalih. Salah satunya adalah penangkapan HOS Tjokroaminoto yang dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan tuduhan memberikan keterangan palsu tentang kasus Sosrokardono.

Penangkapan tersebut membuat surat kabar Oetoesan Hindia tidak terurus lagi dan berhenti terbut pada tahun 1923. Memasuki tahun 1926 terbit surat kabar Kemajoean Hindia yang merupakan kelanjutan dari Oetoesan Hindia yang telah berhenti terbit akibat masalah modal.

Pada masa-masa akhir pemerintahan Kolonial Belanda, surat kabar-surat kabar yang terbit di Surabaya mengalami perubahan dalam corak penulisan. Berita-berita yang ditulis dan diturunkan, terutama artikelnya, cenderung terjadi perang opini atau bergaya tropika.

Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa

Kecenderungan terjadinya perang opini tersebut dipengaruhi oleh politik aliran yang dianut para pemimpin akibat semakin banyaknya ideologi-ideologi yang masuk ke Hindia Belanda sehingga terjadi perbedaan cara pandang dalam menafsirkan nasionalisme.

Hal tersebut dapat dilihat dalam tulisan harian Djenggala dan Express. Djenggala merupakan surat kabar berbahasa Jawa yang terbit di bawah pimpinan redaktur Ayat Djajningrat cucu Bupati Ngawi yang lulus dari sekolah Osvia Madioen. Setiap kali terbit surat kabar tersebut selalu menghantam group Bubutan yang dipimpin dr. Soetomo dan tokoh-tokoh Persatuan Buruh Indonesia seperti Husni Thamrin, Mr. Iskaq, Soekardjo Wirjopranoto, dan sebagainya.

Pada tahun 1931 merupakan masa paling subur dalam sejarah pers di Surabaya pada masa Kolonial Belanda. Terdapat beberapa surat kabar yang terbit, dan paling menonjol adalah Soeara Oemoem.

Surat kabar tersebut diterbitkan oleh Soeloeh Rajat Indonesia dengan pimpinan redaksinya Taher Tjindarboemi. Kemenonojolan surat kabar tersebut akibat penurunan berita dalam tajuk rencana yang ditulis Tjindarboemi tentang pemberontakan kapal Zevel Provincien dalam edisi 6 Januari 1933 yang berjudul Pemberontakan di Zeven Provincien;

Di lain bagian dalam soerat kabar hari ini, ada terseboet kabar berita pemberontakan di atas kapal perang Sommandementschip dari Indische Marine De Zeven Provincien, jaitoe kapal perang jang baroe-baroe ini dikawatkan oleh Aneta ada berlaboeh di Oelehleh (Aceh). Kedjadian itu adalah adalah kedjadian jang terpenting sekali di dalam keroesoehanMarine selama ini dan dalam hakekatnja bertambah soelit lagi oentoek dibicarakan dengan setjara seobyektif-obyektifnja oleh seboeah soerat kabar harian teristimewa oleh soerat kabar seperti Soeara Oemoem ini, tulis artikel itu.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru