Raffles dan Perombakan Sistem Sewa Tanah

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Ketika Raffles meninggalkan Jawa pada tahun 1816, hak-hak atas penguasaan wilayah dikembalikan Inggris kepada Belanda. Setelah Indonesia kembali berada dibawah pendudukan pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan dipimpin oleh Komisaris Jenderal.

Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout, dan Buyskes (1816-1819) yang beraliran konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang beraliran liberal. Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipimpin oleh golongan liberal di bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen (1817 - 1830). Belanda meninjau kembali kebijaksanaan Inggris atas Jawa. Sebenarnya kebijakan Raffles masih diteruskan pada masa tersebut.

Kebijakan Ekonomi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1816-1900 ialah menerapkan sistem Penjualan Tanah Partikelir yakni tanah milik kaum swasta yang dibeli dari pemerintah kolonial belanda. Hal tersebut dipimpin oleh Van der Capellen pada tahun 1817.

James C. Scott dalam bukunya Senjatanya Orang-orang yang Kalah yang dikutip Optika.id, Senin (31/7/2023) menyebut jika aturan-aturan penjualan tanah partikel yang diberikan adalah menarik hasil panen secara langsung sebesar 10%, Menarik uang sewa rumah dan pajak tanah, mengerahkan penduduk untuk bekerja rodi, dan mengusir penduduk yang tidak membayar hutang.

Gubernur Jenderal Van Der Cappellen menerapkan suatu kebijaksanaan, bahwa penduduk Jawa bebas menggunakan tanah mereka untuk menanam yang mereka kehendaki, tapi sebagai imbalan atas hak ini, orang-orang tersebut harus membayar sewa atas tanah.

Pada tahun 1827, sebagian besar sewa harus dibayarkan baik dalam bentuk mata uang perak atau emas, dan sisanya dalam bentuk mata uang tembaga. Diharapkan dengan konsep liberal ini, penduduk Jawa kemudian akan memproduksi hasil bumi yang lebih dapat di pasarkan, dan dengan demikian mampu membayar sewa tanah.

Gubernur Jenderal Van der Capellen menunjukkan bahwa usaha untuk mengesampingkan para bupati dan kepala-kepala desa tidak berhasil dengan baik. Struktur feodal mau tidak mau masih terus berjalan di masyarakat tradisional Jawa. Gengsi sosial yang tinggi para bupati dan kepala desa dimobilisasi lagi oleh pemerintah kolonial untuk mencapai tujuan untuk mendorong petani menanam tanaman perdagangan yang diharapkan.

Tanah-tanah partikelir terdapat di sekitar Batavia, Bogor, Banten, Karawang, Cirebon, Semarang dan Surabaya. Motif dari penyerahan tanah-tanah itu beragam. Sebagian besar bermotifkan kepentingan politis saat penyerahan tanah dengan status tanah partikelir oleh VOC.

Penyerahan tersebut dianggap sebagai hadiah VOC terhadap orang-orang yang dianggap berjasa menjaga ketenteraman dan ketertiban di wilayah sekitar Batavia. Mereka di antaranya adalah mantan pegawai atau perwira VOC dan kepala penduduk pribumi. Praktik penjualan tanah partikelir tidak hanya berupa penyerahan tanah, melainkan penduduk yang tinggal di tanah tersebut.

Mochammad Tauchid dalam buku Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, para pemilik tanah menguasai tanah secara mutlak dalam jangka waktu yang lama. Para tuan tanah mendapat hak-hak istimewa seperti yang dimiliki pemerintah (hak fiskal) dan kepolisian (keamanan).

Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa

Dengan hak istimewa yang dimiliki, para tuan tanah berhak menuntut sebagian hasil produksi tanah garapan para petani. Selain itu, penyerahan tenaga kerja bagi keperluan pribadi tuan tanah menjadi wajib, antara lain memetik buah, menggarap dan memelihara tanaman atau mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Selama memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutang-hutang Belanda yang cukup besar selama perang.

Kebijakan yang diambil adalah dengan meneruskan kebijakan Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada bangsawan Eropa. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal.

Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Kegagalan sistem sewa tanah dalam merangsang para petani pedesaan untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang dilakukan selama pemerintahan komisaris Jendral Van der Cappelen dan Du Bus de Gisignies, telah memberikan alasan bagi penggantinya untuk menetapkan kebijakan baru yang dianggap lebih mampu menjawab tuntutan yang mendesak.

Johanes van den Bosch yang diangkat menjadi Gubernur Jendral di Indonesia pada tahun 1830 mendapatkan tugas untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang tidak dapat dicapai pada pemerintahan sebelumnya.

Pada masa Gubernur Jendral Van den Bosch tahun 1830 sistem sewa tanah dihapuskan dan dihidupkannya kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagang dan bentuk yang lebih keras dan efisien oleh VOC. Gubernur Jenderal Van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.

Baca juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel

Dalam karya klasik Netherlands India: A Study of Plural Economy, J.S. Furnivall menyebut ada tiga keuntungan dari Tanam Paksa. Sistem ini berhasil memaksa Hindia Belanda mengembalikan uang yang pernah dikeluarkan Kerajaan Belanda untuk membiayai Perang Jawa. Hal ini diikuti perkembangan sektor perkapalan dan perdagangan internasional. Semua keuntungan itu memperlebar peluang modal dan pembentukan jaringan industri yang memperkaya Kerajaan Belanda, sekaligus pembangunan di negara koloni.

Kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) dan sistem pajak yang diterapkan Van den Bosch sejak tahun 1830 menyebabkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan ini memaksa petani untuk menanami sepertiga tanahnya dengan tanaman-tanaman yang ditentukan oleh pemerintah.

Mereka juga dipaksa melakukan bentuk-bentuk kerja wajib sebagai ganti pajak yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Bentuk-bentuk pemaksaan dan pemungutan yang sangat eksploitatif dianggap merusak sistem pemilikan tanah di desa.

Pergantian pemerintahan Belanda dari tangan kaum konservatif ke tangan kaum liberal berpengaruh pada kebijakan pertanahan yang diterapkan di Hindia Belanda. Peran negara di sektor pertanian digantikan oleh swasta pemilik modal.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru