Gemes Soal Koalisi Pilpres, Jimly Usul Cawapres Dipilih MPR

Reporter : Eka Ratna Sari

Optika.id - Pakar Hukum Tata Negara, Profesor Jimly Asshiddiqie, merasa frustrasi dengan kompleksitas dalam pembentukan koalisi untuk Pilpres 2024, terutama terkait pemilihan Cawapres oleh koalisi partai politik yang telah mengusung Capres. Untuk mencegah masalah serupa di masa depan, Jimly, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mengusulkan agar Cawapres hanya dipilih oleh MPR, sementara Pilpres tetap memilih presiden.

Baca juga: Usai Debat Cawapres, Gibran Dapat Sentimen Negatif Terbanyak, Cak Imin Sebaliknya

Saat ini, terdapat tiga Calon Presiden (Capres) yang telah muncul, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Meskipun mereka telah dideklarasikan sebagai Capres sejak awal, mereka masih belum memiliki pasangan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Semua partai dalam koalisi Capres berusaha untuk menjadikan kandidat mereka sebagai Cawapres.

Proses penentuan Cawapres penuh drama, terutama keputusan Anies yang memilih Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, sebagai pasangannya, yang memicu kemarahan dari Partai Demokrat karena ketua umum mereka, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), tidak terpilih sebagai Cawapres.

Situasi ini telah membuat Koalisi Perubahan menjadi kacau, dengan Partai Demokrat memutuskan untuk keluar dari koalisi Anies dan terus menyerangnya.

Sebagian masyarakat pun gemes melihat proses yang seperti ini. "Nonton ribetnya transaksi jabatan Capres dan Cawapres," kata Prof Jimly, membuka ulasannya, di akun Twitternya @JimlyAs.

Dia mengusulkan, instrumen Pilpres untuk 2029 diubah. Pertama, setiap Parpol atau gabungan parpol peserta Pemilihan Legislatif diberikan hak untuk mengajukan Capres sendiri-sendiri.

Kedua, hanya Capres yang dipilih oleh rakyat. Adapun Cawapresnya dipilih oleh MPR. "Cawapres lebih baik dipilih MPR, dari dua calon yang diajukan presiden terpilih," usul mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.

Usulan Jimly itu didukung Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis. Menurutnya, usulan tersebut bisa menghindari fenomena yang terjadi belakangan ini.

"Di masa depan, gagasan itu bagus. Supaya dimasukkan ke dalam UUD. Sekali, gagasan itu untuk masa yang akan datang. Konsekuensinya, kita harus ubah UUD. Kalau hari ini tidak bisa," ulas Margarito.

Ia menambahkan, ke depannya, lebih baik tidak ada lagi Presidential Threshold. Semua parpol yang memiliki kursi di parlemen berhak mengajukan Capres. Adapun Cawapresnya dipilih MPR.

Menurutnya, saat ini elite politik harus diyakinkan mengenai plus minusnya usulan Prof Jimly. Kata Margarito, demokrasi itu tidak ada hubungannya dengan pemilihan langsung atau tidak langsung.

"Model pemilihan presiden tidak ada hubungannya dengan demokrasi. Yang bilang pemilihan presiden secara langsung itu adalah demokrasi, itu hanya omong kosong belaka," pungkas Margarito.

Baca juga: Rocky Gerung Bongkar Fakta Kelam KPU dan TV Debat Cawapres di Kompleks Kassandra!

Apakah tanggapan parpol soal usulan Jimly itu? Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengatakan, usulan ini bisa menjadi bahan diskursus partainya. Hanya saja, jalannya tidak mudah. Karena memerlukan amandemen UUD jika ingin diterapkan.

Terlepas dari usulan Prof Jimly, Kamhar menilai, sengkarut persoalan yang sering dihadapi jelang Pilpres, bukan pada pemilihan atau penentuan Cawapresnya. Akar persoalannya adalah pemberlakuan Presidential Threshold.

"Ini yang menjadi akar persoalan sesungguhnya. Kami berpandangan, semestinya setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan Capres dan Cawapres," terang Kamhar, saat dihubungi, tadi malam.

Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera menganggap usulan Prof Jimly sangat menarik. Namun, realisasinya mentok diamandemen UUD. Menurutnya, usulan ini bisa dilakukan, tapi tidak dalam waktu dekat. Terlebih, amandemen harus melalui proses panjang, dan didukung kekuatan politik yang mumpuni.

Mardani menyebut, saat ini pihaknya tengah menikmati aturan main yang ada. "Kalau saat ini, sesulit apapun, kita harus tetap tekuni jalan yang ada. Presidential Threshold 20 persen dan Capres-Cawapres," aku anggota Komisi II DPR ini.

Sementara, Politisi Gerindra, Dahnil Anzar Simanjuntat tidak sependapat dengan pernyataan Prof Jimly. Menurut Dahnil, proses yang dianggap ribet oleh Prof Jimly sebagai seni dan dialektika.

Baca juga: Survei Elektabilitas Jelang Debat Cawapres: Anies-Imin Salip Ganjar-Mahfud, Prabowo-Gibran?

Dengan kata lain, kematangan dialektika parpol dan Capres diuji pada proses tersebut. Dahnil menyarankan, politisi harus menikmatinya. "Jadi, kita lalui saja dengan gembira," pesannya.

Menurutnya, keribetan itu bagi mereka yang tak sabar. Sementara politik itu adalah seni mengelola sabar. Berdialektika dengan sabar.

"Proses yang diusulkan Prof Jimly bagi saya tidak ideal, menghilangkan proses dan spirit pemilihan langsung. Proses seperti saat ini jauh lebih baik," kata Dahnil.

Sedangkan, Politisi PDIP Hendrawan Supratikno mengakui, belakangan ini banyak usulan menarik untuk dikaji dan didalami. Namun, saat ini pihaknya tengah fokus memenangkan Pemilu dan Pilpres.

"Usulan-usulan tersebut untuk sementara ditampung dulu. Sekarang fokus kita pada pelaksanaan Pemilu sesuai undang-undang dan aturan main yang berlaku sekarang," tukas Hendrawan.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru