Optika.id - Usulan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menginginkan pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia telah menuai kritik. Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily, menganggap usulan ini seperti kembali ke era kolonial saat Indonesia masih dijajah.
Baca juga: Ingin Rumah Ibadah Dikontrol Pemerintah, MUI: Bertentangan dengan UUD 1945
Dalam pernyataannya kepada wartawan pada Selasa (5/9/2023), Ace Hasan Syadzily mengatakan, "Ini sudah kayak zaman penjajahan saja, rumah ibadah dikontrol semuanya oleh pemerintah. Saya kira berlebihan jika tempat ibadah dikontrol Pemerintah atau aparat pemerintah."
Ia juga menekankan bahwa pemerintah tidak dapat membuat aturan berdasarkan satu atau dua kasus tempat ibadah yang diduga terlibat dalam penyebaran faham radikalisme. Menurut Ace, mengkritik pemerintah bukanlah tindakan radikalisme, dan tidak perlu dikhawatirkan.
"Kalau ada satu atau dua kasus di mana rumah ibadah diduga digunakan untuk mengkritik pemerintah, ya tidak perlu dikhawatirkan. Mengkritik kan tidak harus dimaknai sebagai tindakan radikalisme," ujarnya.
Baca juga: BNPT Beberkan Ada Satu Parpol yang Disusupi Jaringan Terorisme, Parpol apa?
Ace Hasan Syadzily juga menyatakan bahwa usulan tersebut melanggar prinsip kebebasan beragama dan berpotensi memaksa serta mengintervensi kehidupan beragama individu.
"Kalau rumah ibadah dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah atau negara, justru menyalahi semangat kebebasan beragama yang dijamin konstitusi. Selain itu, kontrol yang terlalu kuat negara atas kehidupan beragama, berpotensi negara terlalu memaksakan dan intervensi terhadap ranah pribadi dalam beragama," tambahnya.
Baca juga: BNPT Harap Pemilu Bisa Kondusif dan Tanpa Provokasi
Usulan BNPT ini muncul dengan tujuan agar tempat ibadah tidak menjadi tempat penyebaran radikalisme, dengan mengacu pada praktik di negara-negara luar. Kepala BNPT, Rycko Amelza Dahniel, telah mengusulkan adanya mekanisme kontrol terhadap penggunaan tempat-tempat ibadah di Indonesia untuk mencegah penyebaran paham radikalisme.
Editor : Pahlevi