Optika.id - Di sebuah warung kopi (warkop) yang agak ramai malam itu, bapak-bapak yang paling mendominasi percakapan dengan kawan-kawannya. Dalam percakapan mereka yang mengomentari peta arus perpolitikan Indonesia yang berubah menjelang Pemilu, mereka seolah apatis dan putus asa terhadap apa yang terjadi nantinya.
Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!
Ya saya sih sudah masa bodo mbak dengan siapa yang mau jadi presiden nantinya. Toh nasib kita juga gini-gini aja, tutur Galih, salah satu bapak yang bercengkerama di warkop itu kepada Optika.id, Senin (18/9/2023)
Pernyataan Galih tersebut diamini oleh rekannya yang lain. Mereka menegaskan bahwa siapapun yang terpilih dan berkuasa, hanya akan melanjutkan warisan kegagalan dari presiden sebelumnya.
Sebagai rakyat kecil kami hanya menyerah. Wis pasrah sajalah, kelakarnya.
Menanggapi hal tersebut, Rissalwan Habdy Lubis selaku pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) menjelaskan alasan yang menyebabkan kelompok ekonomi bawah terkesan putus asa dengan pemilu. Salah satunya adalah karena tidak ada pergantian elite penguasa yang signifikan.
Apalagi dia (pemilih) merasa tidak ada perbaikan apa pun. Memang faktanya tidak ada, kata Rissalwan, Selasa (19/9/2023).
Rissalwan menegaskan, selama tidak ada rotasi elite kekuasaan, maka masyarakat kelas bawah pun tidak akan melihat perubahan signifkan yang bakal terjadi dengan mereka dan nasibnya.
Saya bisa memahami kelompok miskin berpikir, Ah nanti kalau dia menang juga akan sama kayak kemarin. Tidak ada yang terlalu baik, membanggakan, menyenangkan, membuat hidup lebih nyaman. Mereka saja yang lebih nyaman, kita tidak, ucapnya.
Di sisi lain, dia menjelaskan untuk memahami itu ada dua perspektif dalam melihat kemiskinan di Indonesia. yakni secara structural dan kultural. Masyarakat pinggiran di perkotaan menurutnya ingin berjuang untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan, akan tetapi tidak bisa lantaran secara struktur mereka tetap dimiskinkan.
Itu yang menjadi dilemma. Karena proses politiknya hanya menjadikan kemiskinan sebagai komoditas politik. Disimpan, dipakai pada saat mau kontestasi pemilu. Sistemnya diperbaiki atau tidak? Tidak, kata dia.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Dalam mengatasi kemiskinan, sambungnya, ada dua metode yang bisa digunakan sebagai alternative. Yakni pemberdayaan dan menyelamatkan. Adapun komponen menyelamatkan yang notabene bersifat sementara yakni bantuan sosial (bansos).
Rissalwan menilai, seharusnya para kandidat pemilu malah berlomba-lomba adu gagasan untuk menyelesaikan masalah sosial, bukannya berlomba-lomba adu endorse dari presiden sebelumnya dan meneruskan misi untuk menyelesaikan tugas yang belum diselesaikan oleh presiden lama. Apabila adu gagasan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial itu absen, maka yang terjadi adalah berjaraknya para elite dengan orang-orang pinggiran.
Sementara itu, pendekatan politik para elite kepada wong-wong cilik saat ini pun sifatnya sangat semu. Misalnya, para elite seolah memandang masalah wong cilik sebagai formalitas dan hanya bagi-bagi sembako lalu dianggap masalah selesai. pendekatan demikian, tegas Rissalwan, hanya akan membuat orang-orang miskin lamban laun akan berpikir kritis juga. Apalagi, keadaan mereka tidak kunjung berubah padahal pemerintahan sudah berubah.
Dia akan mikir, Saya dibantu sembako. Terus dalam lima tahun itu, saya tidak pernah dibantu (lagi). Saya cuma diminta kasih suara. Jadi, ada kesadaran kritis yang sudah mulai muncul. kata dia.
Melihat kenyataan yang ada di bawah, Rissalwan menyebut jika para elite politik tersebut tidak ada yang benar-benar peduli dengan kehidupan kelompok masyarakat miskin kelas bawah. Apabila mereka sungguh-sungguh peduli dan menaruh atensi, maka seharusnya mereka memberi bantuan yang bukan berupa barang saja. Melainkan membangun sistem untuk perbaikan kondisi kehidupan ekonomi masyarakat.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Sementara itu, elite politik juga seolah membuat jarak dengan masyarakat miskin. Hal ini terlihat dari minimnya perjumpaan mereka dengan masyarakat. Padahal, kehadiran mereka bisa memiliki makna yang berbeda pula bagi mereka. Namun yang terjadi, para elite politik tersebut justru pencitraan sana-sini.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemimpin lebih mementingkan pemberitaannya, bukan esensi kehadiran dia dan rasa dari masyarakat yang didatangi, tuturnya.
Alhasil, dengan segala fakta yang ada tadi, Rissalwan menegaskan jika pesimisme orang-orang pinggiran terhadap pemilu tidak bisa disalahkan. Maka dari itu, solusinya adalah aspirasi orang-orang pinggiran diakomodir. Bukan hanya dijadikan sebagia komoditas politik dalam pemilu saja.
Lebih lanjut, minimnya kepedulian masyarakat bawah terhadap pemilu, tahapan dan hasilnya pun diperparah dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak membawa isu pemilu hingga menyentuh akar rumput.
Isu-isu tentang keadilan, suksesi yang bersih, dan perubahan, pungkasnya.
Editor : Pahlevi