Optika.id - Dosen Pasca Sarjana Universitas Nasional (Unas) Assoc. Prof.Dr. TB. Massa Djafar mengatakan krisis iklim yang terjadi di Indonesia juga di dunia tak lepas dari tanggungjawab moral intelektual karena mereka ikut terlibat dalam kerusakan lingkungan.
Baca juga: Pengamat Politik Sebut Pilkada Bukan Pesta Rakyat, tapi Pesta Elite Parpol
Ada banyak keterlibatan intelektual yang ikut merusak lingkungan alam. Sebagai Bakal Calon Presiden Anies Baswedan patut mempertanyakan tanggungjawab moral intelektual dan itu harus digaungkan Anies pada saat kampanye yang mengusung perubahan dan perbaikan. Penjahat Lingkungan tidak bisa dibiarkan, ujarnya,Rabu, (20/9/2023).
Menurut Djafar, pertanggungjawaban moral intelektual ini sangat penting untuk disampaikan Anies karena nasib bumi kedepan ada di tangan kalangan intelektual, mereka ikut bertanggungjawab dalam krisis iklim.
Kata Djafar bahwa kaum intelektual itu punya tanggung jawab sangat besar untuk menyatakan sebuah kebenaran karena mengetahuinya dan secara moral menyangkut keselamatan rakyat.
Oleh karena itu, lanjut Djafar, sudah saatnya Anies Baswedan mempertanyakan tanggungjawab moral intelektual yang lebih memihak mementingkan bisnis daripada keberlangsungan alam.
Apalagi, katanya, Anies pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan harus berani menyatakan suara kebenaran, harus berani mempertanyakan tanggungjawab moral intelektual bahwaduniadi tengah krisis iklim, akanmengancam keberlangsungan manusia dan seluruh isi alam jagad raya ini.
Djafar mengatakan, jika Anies Baswedan jadi Presiden maka dia akan memberikan masukan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta itu bahwa peran generasi milenial dalam mempertahankan dan melindungi lingkungan sangatlah penting. Karena pendidikan dan penyadaranperlu untuk menjaga kerusakan lingkungan.
Ya, sudah pasti, sebab bonus demografi harus dikelola dengan optimal dan tepat sasaran, mengingat dengan bertambahnya jumlah populasi generasi milineal, ini adalah peluang emas. Sebab ada negara, seperti Jepang, jumlah penduduknya kini sedang merosot, termasuk generasi milinial.
Karena itu, lanjutnya, generasi milinial harus dipandang sebagai subjek, yang perlu dibangun kesadaran untuk menjaga dan mengembangkan potensi lingkungan sebagai sumber penghidupan bagi umat manusia, bagi generasi yang akan datang dalam memikul tanggungjawab kelestarian lingkungan. Masa depan generasi milenial masih panjang mereka sebagai pemilik masa depan bangsa ini.
Terkait,green economyatau ekonomi hijau yakni mengenai sistem ekonomi yang berusaha mengurangi emisi karbon dan dampak negatif lainnya terhadap lingkungan, Djafar mengatakan selama ekonomi hijau digunakan untuk kemakmuran rakyat tidak menjadi persoalan.
Dia melanjutkan di masa rezim sebelumnya, ekonomi hijau, atau kapitaslisme baru yang dibungkus ramah lingkungan sering dibicarakan mengenai pertumbuhan dengan keadilan namun malah sebaliknya proses pembangunan ekonomi malah menciptakan ketidakadilan. Nyatanya, bukan mendapatkan keadilan tetapi malah menciptakan ekonomi liberal yang mengarah privatisasi dan menciptakan kesengsaraan baru bagi rakyat.
Misalnya,dengan alasan investasi, banyak hutan dieksploitasi, tanah kaya tambang, kawasan laut, perairan, sumber air minum, dan lain-lain yang jatuh ke tangan swasta. Yang pada akhirnya bermuara kepada, kemiskinan, pengangguran perampasan tanah rakyat, pengusiran rakyat dari lahan mata pencaharian, kekerasan dan lain-lain.
Rakyat saat ini dipaksa membayar mahal kebutuhan dasar seperi listrik, dan air minum karena sumber daya tersebut sudah dikuasai swasta.
Padahal sejarah masyarakat Indonesia memilki budaya adi luhung sangat menghargai semesta alam. Mereka tahu batasan mana yang diambil dari alam untuk diolah bagi pemenuhan hidupnya tanpa mengeksploitasi alam. Ada tanggungjawab moral yang terlahir untuk mempertahankan dan menghormati kelestarian alam tersebut.
Djafar melanjutkan sudah sangat jelas dalam Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas dikatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Tetapi ini berpihak dengan kekuatan kapital untuk mengggali keuntungan sebesar-besarnya.
Baca juga: Analis Sebut Wajar PDIP Tak Bersama Anies, Bukan Elektoral Penentu Utama
Kata Djafar, demokrasi ekonomi Indonesia adalah mengelola kekayaan alam untuk kemakmuran bersama, untuk kemakmuran rakyat bukan pengusaha. Karena demokrasi ekonomi jelas disituberlaku azas kebersamaan dan solidaritas dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Di situ, pada akhirnya, juga muncul tanggung-jawab untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam tersebut, tukasnya.
MP3EI
Konsep Ekonomi hijau diciptakan untuk memberantas kemiskinan, mempersempit jurang perbedaan, dan membuat masyarakat lokal lebih sejahtera. Selain itu, ekonomi hijau mempromosikan pembangunan berkelanjutan, yang tentu saja tidak terpisah dengan faktor sosial dan lingkungan.
Konsep ekonomi hijau digunakan oleh pemerintah sebagai kelanjutan dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia(MP3EI). Indonesia sudah menjadi bagian dari pelaksanaan REDD (Reducing Emissions through Deforestation and Forest Degradation/Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan).
Sebagai informasi MP3EI juga tidak lepas dari kritik dan perbedaan pandangan dalam implementasinya. Beberapa persoalan yang mengundang kritik tersebut karenaantara lain MP3EI dipandang:
Pertama, mengandung kebijakan yang tumpang tindih;
Baca juga: Pengamat Sebut Anies Segera Gabung Partai, Tak Selamanya Bisa Independen!
Kedua, minim peran industri domestik terutama UMKM;
Ketiga, memberi peluang seluas-luasnya bagi investor besar untuk menguasai atau mengeruk sumber daya alam (SDA) daerah tanpa memberikan manfaat banyak bagi masyarakat;
Keempat, tidak memperhitungkan keseimbangan ekologis kawasan-kawasan setempat;
Kelima,sebagai program ambisius yang melanggar hak-hak setempat, khususnya masyarakat adat;
Keenam, memperbanyak kepemilikan swasta pada proyek pemerintah, mengingat besarnya pendanaan atas program MP3EI yang direncanakan.
Ketujuh, beberapa program MP3EI masih dominan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Saat ini, pemerintah memiliki target nol emisi karbon (net zero emission) pada 2060. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah memperkirakan kebutuhanbiaya mencapai Rp. 28.223 triliun. Sektor transportasi dan energi akan membutuhkan dana terbesar, dengan total sekitar Rp. 26.602 triliun.
Editor : Pahlevi