Optika.id - Ekonom Institue for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti menilai bahwa perlu adanya regulasi khusus untuk menaungi para pekerja gig yang semakin lama semakin bertumbuh. Khususnya, regulasi yang mengatur soal upah dan jaminan pensiun. Pasalnya, dia mengamati bahwa nasib pekerja gig saat ini berada pada posisi yang penuh kesenjangan.
Baca juga: Lelah Kerja Hybrid? Atasi dengan Mindful Living
Untuk diketahui, pekerja gig merupakan tenaga kerja yang bergantung pada posisi sementara atau paruh waktu yang diisi oleh pekerja lepas dibandingkan dengan karyawan tetap.
"Selama ini yang diuntungkan pemberi kerja. Menurut saya, memang ada kesengajaan pemberi kerja mempekerjakan secara informal karena tidak ada regulasi yang mengikat," ucap Esther kepada Optika.id, Minggu (24/9/2023).
Kendati demikian, regulasi yang diharapkan mampu mengatur kesejahteraan para pekerja gig ini nyatanya bukan kabar gembira bagi pemberi kerja. Alasannya adalah hal tersebut bakal menambah beban pemberi kerja, biaya produksi akan naik dan dibebankan kepada konsumen.
Menurut Esther, perlindungan jaminan sosial dan upah layak bagi para pekerja gig ini perlu disetarakan dengan pekerja formal. Misalnya di Belanda, yang mengatur upah minimum bagi pekerja formal dan informal. Sehingga, antara hak dan kewajiban dari kedua belah pihak jelas. Baik bagi pekerja maupun pemberi kerja.
Sementara itu, agar tidak terlampau memberatkan para pemberi kerja Esther menyebut bahwa pemerintah perlu untuk membuat skema anggaran dengan tujuan untuk membiayai jaminan sosial serta jaminan pensiun dari pajak yang dipotong dari gaji para pekerja gig ini.
"Asuransi kesehatan mereka harus bayar sendiri dan hukumnya wajib," kata Esther.
Kendati demikian, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengklaim bahwa pihaknya tengah merancang aturan proteksi terkait pekerja gig agar tidak mudah dieksploitasi oleh perusahaan.
Dihubungi secara terpisah, Bimo Aria Fundrika selaku Koordinator Divisi Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) menyebut bahwa fenomena pekerja gig yang menjamur ini seiring dengan kemajuan teknologi. Dia menilai bahwa saat ini muncul banyak istilah yang terkesan menjebak pekerja gig mulai dari perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), mitra, atau freelancer full time.
Baca juga: INDEF: Kerugian Ekonomi RI Akibat RPP Kesehatan Tembus Rp103 Triliun
Pada akhirnya, berbagai istilah tersebut membuat perusahaan seolah menghindari kewajibannya untuk menaikkan hak-hak normative yang seharusnya diterima oleh pekerja. Misalnya tunjangan hari raya (THR), dan BPJS.
Berdasarkan pengakuannya, selama dua tahun ke belakang Sindikasi banyak menerima laporan bahwa para pekerja gig ini merana lantaran tidak seimbang antara upah yang minim namun jam kerjanya berlebih. Bahkan, imbuh Bimo, para pekerja gig ini berjibaku dengan waktu demi mendapatkan uang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
"Karena itu, kami di Sindikasi meminta pemerintah untuk bisa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja. Kami juga meminta pemerintah itu lebih ketat dalam melakukan pengawasan terhadap pemberi kerja yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hubungan kerja ini " ucap Bimo, Senin (25/9/2023).
Terkait pekerja gig ini, Bimo menilai bahwa Kemenaker lemah dalam mengawasi pelanggaran serta cenderung tutup mata terhadap kondisi mereka. Kemenaker berdalih bahwa mereka tidak mempunyai personel yang cukup untuk membahas kerentanan pekerja gig.
Baca juga: Kritik Program Makan Siang Gratis: Tidak Realistis dan Rentan Dikorupsi
Padahal, regulasi dari Kemenaker ini penting untuk menaungi pekerja gig yang beban kerja berlebih namun upahnya minim. Dia mencontohkan penulis lepas yang bekerja lebih karena berulangkali melakukan revisi, tapi bayarannya tidak setara usahanya.
Ini kan juga berbahaya. Semisal mereka bekerja enggak jelas kapan waktu selesai kerjanya, katanya.
Maka dari itu, dia mendesak agar Kemenaker segera membuat regulasi yang memberi jaminan sosial serta pensiun bagi para pekerja gig yang skemanya sama seperti pekerja formal. Kemudian, upah yang diberikan juga adil serta jam kerja yang sehat juga perlu dirancang. Tujuannya tak lain adalah memberikan perlindungan bagi para pekerja gig itu sendiri.
Kalau enggak diatur, akhirnya pekerja-pekerjanya mau enggak mau bekerja melebihi waktu. Jadi, seperti lingkaran setan karena upahnya kecil. Mereka mau enggak mau bekerja berkali-kali lipat, lebih dari 8 jam untuk bisa memenuhi upah yang mencukupi hidup. ujarnya.
Editor : Pahlevi