Optika.id - Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian menyebut bahwa saat ini situasi kebebasan berpendapat di Indonesia berangsur-angsur memburuk di era pemerintahan Jokowi. Hal tersebut dilegitimasi oleh sejumlah survei serta beberapa penelitian.
Kami menuliskan bahwa misalnya freedom house kita adalah negara yang setengah bebas. Kalau setengah bebas berarti, kan, lima. Economist Intelligence Unit (EIU) juga menyatakan hal yang sama bahwa kita ada dalam demokrasi cacat, kata Rozy dalam keterangannya, Rabu (27/9/2023).
Baca juga: Demokrasi Tergerus, LaNyalla: Sistem Pilpres Liberal Penyebab Penurunan Kualitas Demokrasi
Pihaknya juga tidak sepakat dengan pernyataan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo perihal kebebasan berpendapat di era Jokowi membaik. Pasalnya, dia menilai mereka bicara hanya menggunakan perasaan serta pengalaman pribadi saja dan tidak berbasis pada data.
Jangan dasarnya perasaan. Ada masyarakat yang kena UU ITE dan itu termasuk Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, ucap Rozy.
Dirinya juga menyoroti aksi represi yang dilakukan di buzzer yang menyerang di berbagai platform publik. Tak hanya dari masyarakat sipil dan aktivis saja, bahkan jurnalis yang seharusnya independen dan dilindungi oleh undang-undang pers pun turut menjadi korban apabila menulis artikel yang kontra atau membongkar suatu skandal yang dilakukan para pejabat. Tak ayal dirinya menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam situasi yang amat sangat buruk perihal kebebasan berekspresi.
Bahkan di 2021 yang terburuk dalam 10 tahun terakhir. Jadi, memang di era kepemimpinan Jokowi tidak ada satu kenaikan signifikan dalam angka demokrasi, jelasnya.
Baca juga: Setara Institute: Prabowo-Gibran Akan Bawa Indonesia ke Otoritarianisme 2.0
Rozy juga mengkritik adanya konflik horizontal sebagai buntut laporan dugaan penghinaan terhadap Jokowi yang diduga dilakukan oleh Rocky Gerung. Pasalnya, yang melaporkan Rocky adalah sukarelawan Jokowi bahkan kader PDIP. Maka dari itu, KontraS sangat menyayangkan hal tersebut karena laporan-laporan tersebut justru menggerus angka demokrasi itu sendiri bukannya malah menjaga iklim demokrasi agar tetap bebas.
Karena memang perangkat hukumnya ada, dan kemudian berseberangan dengan pandangan oposisi, kemudian akhirnya melakukan menggunakan perangkat hukum untuk melaporkan atau menghukum orang yang kritik itu," tuturnya.
Berdasarkan catatan dari KontraS, pada kurun waktu Januari 2022 hingga Juni 2023, ada sekitar 183 peristiwa pelanggaran hukum terhadap kebebasan berkespresi mulai dari serangan fisik, digital, penggunaan perangkat hukum hingga intimidasi.
Baca juga: Genderang Kritik Dibungkam, YLBHI: Ada Empat Pola Negara Memberangus Gerakan
Akibatnya, sekitar 272 korban luka-luka dan 3 lainnya tewas dalam peristiwa tersebut. Di sisi lain, sebanyak 967 orang ditangkap sebagai akibat dair ragam peristiwa tadi. Lebih lanjut, KontraS mencatat bahwa kepolisian menjadi pelaku dominan dengan terlibat pada 128 peristiwa. Disuusl dengan unsur pemerintah lain sebanyak 27 peristiwa serta swasta atau perusahaan dengan 24 peristiwa.
Maka dari itu, KontraS bersama Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah bersama DPR RI untuk segera mencabut sejumlah pasal bermasalah dalam draf revisi kedua UU ITE. Pencabutan pasal bermasalah tersebut, tegas mereka, bertujuan agar memberikan jaminan kemerdekaan warga untuk menikmati hak kebebasan berekspresi serta berpendapat dan melindungi keamanan pembela hak asasi manusia.
Editor : Pahlevi