Tantangan Pemilu Jujur, dari Rekapitulasi Suara Hingga Praktik Transaksional

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut bahwa ruang transaksional kerap terjadi lantaran proses rekapitulasi suara yang panjang, berbelit dan masih membutuhkan tenaga manual. Dia mengkhawatirkan adanya kerawanan suara yang hilang dalam pemilihan legislatif (pileg) yang tidak hanya dilakukan oleh lawan beda partai saja, melainkan juga kerap dilakukan teman sesama partai demi bisa duduk di parlemen.

"Di sinilah ruang terjadinya transaksional. Untuk rekap nasional saja membutuhkan 35 hari,sementara publik butuh mengetahui hasil pemilu secara cepat," kata Ninis, sapaannya, dalam keterangan tertulis, Jumat (29/9/2023).

Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!

Maka dari itu, dia mendorong agar lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) berupaya membuat proses rekapitulasi lebih sederhana agar ruang transaksional yang dimaksud olehnya tidak terjadi terus menerus setiap pemilu berlangsung. Penyederhanaan tersebut juga bertujuan untuk mengurangi beban panitia pengawas pemilu (panwaslu) di TPS terkait.

Hal tersebut berkaca pada Pemilu 2019 silam yang membutuhkan proses rekapitulasi panjang nan melelahkan hingga membuat petugas kelelahan. Berbagai poin harus dimasukkan ke dalam lembar kerja oleh petugas. Sehingga, tak jarang terjadi praktik transaksional ketika para petugas sedang berada dalam kondisi lelah.

"Salah satu yang bisa didorong adalah mengembangkan teknologi dalam proses rekapitulasi penghitungan, supaya lebih cepat hasil diketahui," ucap Ninis.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Lebih lanjut, pihaknya juga tengah menyorot perihal penerapan sistem pemilu proporsional terbuka yang membuka kran peluang praktik politik uang. Pasalnya, dengan sistem proporsional terbuka, caleg akan turun langsung ke para pemilih untuk menggalang suara terbanyak dari para pemilih. Sehingga, ujar Ninis, dalam upaya meraup suara tersebut di tengah masyarakat, kandidat yang menjadi peserta pemilu menggunakan jalan praktis yakni politik uang.

"Inilah yang menjadi salah satu argumentasi bahwa sistem pemilu proporsional terbuka menyuburkan praktik politik uang," ungkapnya.

Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Kendati praktik politik uang bisa terjadi di sistem proporsional terbuka, namun hal itu tidak lantas menjadikan sistem proporsional tertutup aman dari praktik politik uang. Pasalnya, dalam sistem pemilu proporsional tertutup, keterpilihan calon ditentukan oleh parpol berdasarkan nomor urut sehingga mereka yang ada di nomor urut kecil memiliki potensi keterpilihan yang lebih besar.

"Di sinilah potensi ruang transaksi di internal partai politik dapat terjadi," jelasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru