Arus Tersumbat di Balik Derasnya Berita Pekerja Media

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap jurnalis tidak hanya bersifat fisik semata, namun juga nonfisik. LBH Pers memaparkan data bahwa banyak dari industri media yang masih tidak mendapatkan gaji yang layak, molor, bahkan gaji yang dicicil dua kali tiap bulannya. Bahkan pada bulan Februari kemarin, para pekerja hanya mendapatkan gaji 25-50n sisanya dibayar belakangan. Selanjutnya, ketika Idulfitri, perusahaan hanya membayarkan 70% gaji jurnalis dengan THR yang melorot drastis.

Merujuk pada fakta tersebut, Ignatius Haryanto selaku kritikus media menilai fenomena ini sebagai tamparan keras di dunia kewartawanan.

Baca juga: Pro Kontra Cari Rekam Jejak Pekerja di Media Sosial, Etis atau Tidak?

Perusahaan sekaliber itu, dikelola jurnalis senior, pun berita yang diwartakan mencakup gaya hidup kelas menengah atas. Namun ia begitu tumpul ke bawah, menindas kalangan pekerjanya sendiri, terang Ignatius dalam keterangannya, Jumat (29/9/2023).

Kasus tersebut hanya sekelumit contoh pelanggaran terhadap para kuli tinta yang rawan. LBH Pers mencatat daftar panjang pelanggaran terhadap para kuli tinta lainnya.

Mereka pun mengelompokkan jenis pelanggaran yang rentan dialami oleh jurnalis di antaranya adalah hubungan kerja yang semakin tidak standar seperti kontrak dan magang tanpa upah. Selain itu ada pula PHK sepihak, upah di bawah rata-rata, dan pemberangusan serikat buruh. Khusus masalah yang terakhir, serikat buruh di Femina menjadi wadah penggalangan kekuatan antar pekerja.

Namun ini pun belum jadi jaminan, keberadaannya bisa menekan jumlah pelanggaran di media yang bersangkutan. Apalagi jika perusahaan memiliki tradisi buruk, sambungnya.

Pengebirian dari serikat buruh ini, ujar Ignatus, bukanlah hal yang baru di dunia media. Remotivi media pengkritik media, menulis bahwa sejak 1986 upaya ini telah terjadi di media Kompas. Sebanyak empat jurnalis penggagas serikat buruh dikucilkan. Tetap digaji, namun tidak diberi tugas jurnalistik selama dua tahun berturut-turut. Kejadian ini serupa terulang pada tahun 1995 dan 2006.

Baca juga: Hobi Menulis dan Ingin Berkarir di Bidang Media? Ini Rekomendasi Peluang Karir yang Tepat Untukmu!

Pada tahun 2008 juga Serikat Karyawan Indosiar (Sekar) juga digembosi lewat PHK massal sejumlah 71 karyawannya. Lalu pada tahun 2009, Suara Pembaruan juga memberangus serikat pekerjanya dengan mendemosi dan menurunkan gaji karyawan. Jelas ini merupakan amputasi yang brutal.

Menurut Ignatius, serikat buruh bisa efektif apabila didukung dengan kemampuan negosiasi yang baik. Peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan tersebut mengungkapkan hal ini bisa jadi sarana yang ampuh.

Sayangnya, asosiasi terbentur pada berbagai persoalan, baik yang bersumber dari abainya perusahaan media atau kesadaran berserikat yang minim dari kalangan jurnalis, ungkapnya.

Hal ini semakin diperparah dengan kekerasan simbolik yang dilagukan oleh perusahaan, dengan membuat stigma bahwa serikat buruh adalah hal negative. Dalam keterangan yang sama, Satrio Aris Munanda menyebutkan bahwa pendirian serikat buruh hanya menghambat produktivitas jurnalis, pembangkangan terhadap nilai perusahaan dan memicu konflik horizontal.

Baca juga: Angka Kekerasan Jurnalis Diprediksi Bertambah Jelang Pemilu 2024, Petinggi Parpol Diminta Mawas Isu

Berkaca dari hal itu, Satrio mengusulkan skema paling masuk akal, terkait pendirian serikat buruh di perusahaan media. Dari uraiannya, ia menyebut hal pertama, serikat pekerja hanya mengurusi kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Kedua, serikat pekerja juga menjembatani hubungan karyawan dan manajemen. Ketiga, serikat pekerja memfokuskan diri pada isu-isu strategis perusahaan. Dan ke depannya, serikat buruh ikut duduk dengan direksi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan.

Tak hanya itu, Satrio juga menyayangkan minimnya serikat pekerja media terutama di luar jawa. Padahal, pekerja media berada pada posisi rentan terutama bagi mereka yang dihadapkan dengan pekerjaan tanpa kontrak. Alhasil, jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) mereka akan lemah dari sisi hukum.

Pasalnya, banyak jurnalis yang bekerja tanpa adanya kontrak kerja. Alhasil, ketika terjadi sengketa ketenagakerjaan, posisi jurnalis sangat lemah dari sisi hukum padahal beban kerja mereka sangat berat.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru