Publik Takut Berekspresi di Era Pemerintahan Jokowi

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Diakui atau tidak, kebebasan berekspresi sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi di Indonesia pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi sorotan. Pasalnya, menurut hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Februari tahun 2023 ini menyebut bahwa publik memiliki tingkat ketakutan mengekspresikan pemikirannya di angka 95%.

Menurut Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, situasi di Indonesia saat ini sudah mengarah pada ranah kekhawatiran chilling effect akibat kriminalisasi ekspresi yang kian nyata. Dia menilai bahwa di Indonesia, chilling effect tersebut nampak semakin nyata pasalnya ada intensitas upaya kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah. Hal tersebut, ujarnya, terlibat dari kebebasan masyarakat baik dari masyarakat sipil hingga akademisi yang dibungkam pemerintah dengan berbagai pasal karet.

Baca juga: Demokrasi Tergerus, LaNyalla: Sistem Pilpres Liberal Penyebab Penurunan Kualitas Demokrasi

Misalnya kasus represi akademik. Mahasiswa enggak boleh kritik kampus karena takut nama kampusnya tercemar di mata nasional, lalu ada rakyat yang bersuara di media sosial, malah ditangkap gara-gara dia membuat sarkasme tentang pemerintahan, itu pasti ada dan malah makin parah, ucap Wahyudi, dalam keterangannya, Jumat (29/9/2023).

Hal tersebutlah yang membuat chilling effect kian membesar dan ketakutan-ketakutan masyarakat terhadap pemerintahan juga semakin besar. Padahal seharusnya pemerintah menjadi patron atau pelindung masyarakat dan membiarkan mereka bebas untuk berekspresi di bidang politik, khususnya. Bukan malah dikriminalisasi.

Adapun yang menjadi faktor kedua adalah munculnya virtual police yang kerap mengirimkan peringatan sembari tak lupa menyertakan pasal-pasal. Publik pun dengan demikian merasa bahwa mereka dipantau gerak-geriknya, yang pada akhirnya menimbulkan ketakutan dalam berekspresi.

Nah ini yang menjadi semacam pembenar hasil survei [Indikator Politik] ini yang kemudian mengatakan bahwa ada penurunan terhadap kenikmatan kebebasan berpendapat dan berekspresi karena memang situasinya demikian," ujarnya.

Tak sampai disitu, situasi tadi lantas diperparah dengan pasal karet dalam UU ITE seperti pasal 27 ayat 1 dan 3, serta Pasal 28 ayat 2. Alhasil, aparat menunggunakan pasal-pasal yang multitafsir tadi untuk disalahgunakan melalui upaya memperingatkan dalam bentuk virtual police atau penegakan hukum pidana kendati sudah ada SKB 3 Menteri dan hal-hal lainnya.

Baca juga: Setara Institute: Prabowo-Gibran Akan Bawa Indonesia ke Otoritarianisme 2.0

 Jadi ada masalah pada dasarnya dengan UU ITE yang kemudian dia berdampak pada naiknya tindakan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi yang pada akhirnya tadi menciptakan chilling effect dan terjadi penurunan dalam penikmatan kebebasan berekspresi," jelasnya.

Lebih lanjut, Wahyudi menyebut bahwa ada solusi agar kebebasan publik dan demokrasi bisa membaik di antaranya adalah dengan memperbaiki UU ITE. Sementara yang kedua adalah presiden dengan tegas membuat batasan dan mengeluarkan kepastian bahwa aparat penegak hukum baik polisi dan jaksa agar selalu berhati-hati dan tidak gegabah dalam menerapkan UU ITE.

Yang ketiga adalah Mahkamah Agung (MA) harus turun tangan dengan cara mengeluarkan fatwa pembekuan sementara penerapan UU ITE dalam konteks pelaporan pencemaran nama baik. Wahyudi menilai bahwa UU ITE bukan satu-satunya jeratan penegakan hukum, melainkan ada KUHP.

Baca juga: Genderang Kritik Dibungkam, YLBHI: Ada Empat Pola Negara Memberangus Gerakan

"Yang pasti adalah bagaimana agar aparat penegak hukum itu menahan diri menggunakan ketentuan ini ketika menerima laporan dari masyarakat dan lebih selektif ketika mendapatkan laporan dari masyarakat, dari publik," ucap Wahyudi.

Dalam konteks masyarakat, apalagi masyarakat yang memiliki kuasa lebih daripada masyarakat yang lain, Wahyudi mengingatkan agar mereka tidak bertindak arogan. Maka dari itu dia menyarankan agar masyarakat diedukasi agar tidak menggunakan hukum pidana dalam menyelesaikan berbagai masalah ITE. Untuk hal ini, pemerintah dan masyarakat harus berkomitmen untuk sadar dan mendorong untuk tidak memakai UU ITE dalam pidana serta lebih mengedepankan upaya dialog dan sanksi secara administrative.

 Jadi kalau misalnya ada pernyataan di media, dia dahulukan mekanisme-mekanisme klarifikasi dan kemudian belum ada klarifikasi apa pun langsung kemudian menggunakan dilaporkan, menggunakan instrumen pidana. Ini juga penting untuk diedukasi ke publik dan itu mesti menjadi pekerjaan bersama baik pemerintah sendiri maupun juga penyedia platform juga sebaiknya turut membantu di dalam proses mengedukasi penggunanya juga," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru