Optika.id - Aku udah berulang kali dipukul sama suami, kepala sampai dijedotin ke tembok berkali-kali jika kami bertengkar baik masalah kecil maupun besar. Ingat dulu sebelum Covid-19 aku di kelas selalu pakai masker? Nah itu karena wajahku lebam-lebam, tutur Fifi, kepada Optika.id, Sabtu (30/9/2023)
Fifi, ibu rumah tangga sekaligus mahasiswa semester akhir ini menjalani kehidupan rumah tangga dengan pelik. Dirinya mengaku jika suaminya bersifat temperamental semenjak pacaran dan kebiasaan buruk itu berlanjut hingga mereka membina rumah tangga.
Baca juga: Kasus KDRT Masih Marak, Ada yang Salah dengan UU Penghapusan KDRT?
Dari pacaran, kalau dia kepergok selingkuh gitu, aku konfrontasi dia marah, nampar berkali-kali. aku bersyukur ya karena tinggal di kontrakan sehingga anak dan orang tua enggak tahu kalau aku babak belur di sini, ucapnya.
Ketika disinggung mengapa dia tidak melapor kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya selama bertahun-tahun itu, dia mengaku gamang. Pasalnya, dia saat ini masih berkuliah dan bergantung pada suaminya. Di sisi lain, dia mempertimbangkan perasaan anaknya serta suaminya yang kerap menyesal usai kekerasan itu terjadi.
Mau enggak mau luluh juga. Gimana ya aku masih butuh sama dia, ungkapnya.
Apa yang dialami oleh Fifi, dijelaskan oleh Psikolog Gisella Tani Pratiwi yang menyebut bahwa korban KDRT secara umum terperangkap dalam siklus kekerasan yang dimulai dari munculnya permasalahan, timbul konflik dan kekerasan, lalu ada masa bulan madu atau permintaan maaf dari pelaku lalu kembali ke tahapan pertama yaitu muncul masalah dan kekerasan.
Dalam siklus ini korban sulit melepaskan diri karena terbelenggu dalam nilai harapan, cinta dan juga teror. Singkatnya merasa serba salah dan tidak tahu harus bagaimana. Mereka mengalami rasa takut terus menerus, meragukan dirinya, merasa bersalah atau menyalahkan dirinya, merasa malu jika ketahuan, dan lain-lain," kata Gisella, Sabtu (30/9/2023).
Baca juga: Femisida Sebabkan Banyak Kematian Perempuan di Indonesia
Alhasil, dinamika tersebut yang membuat korban tidak yakin untuk melaporkan peristiwa yang dialaminya. Selain itu, faktor eksternal turut memengaruhi keputusan korban untuk melapor atau tidak.
(Faktor eksternal) bisa mempengaruhi. Apalagi jika dalam konteks budaya ketimuran yang sangat mementingkan nilai kekeluargaan. Saran atau sudut pandang keluarga besar terutama orang tua atau orang yang dituakan, akan mempengaruhi bagaimana korban menghadapi KDRT," tuturnya.
Tak hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak menyandang gelar pendidikan tinggi, Gisella menyebut bahwa secara umum jika ada orang terpandang dan terpelajar mengalami KDRT, maka ia tetap memungkinkan berada dalam siklus kekerasan tersebut.
Di sisi lain, mereka juga memiliki beban yang bertambah lantaran menyandang status sebagai orang yang terpandang dan berpendidikan sehingga perlu menjaga image positif dan mereka memerlukan waktu untuk memikirkan dalam mengelola konsekuensi KDRT tersebut.
Baca juga: FSGI: Kekerasan di Keluarga Buat Anak Menormalisasi Tindak Kekerasan
Ditambah lagi jika korban adalah perempuan, dalam budaya patriarki, perempuan biasanya terkondisi berada dalam posisi yang submisif atau lebih lemah," kata Gisella.
Tatkala disinggung perihal ada atau tidaknya pengaruh kepastian hukum terhadap keberanian korban untuk melapor tindakan KDRT tadi, Gisella menyebut bahwa semestinya ada payung hukum yang memengaruhi para korban untuk berani angkat suara terhadap tindak kekerasan yang mereka alami. Kendati demikian, untuk membuat korban yakin melapor ke pihak terkait, diperlukan implementasi dari penegak hukum itu sendiri.
Kalau perangkat hukum praktikalnya tidak mendukung, tentu akan membuat korban dilematis, ditambah mungkin kurangnya akses dan informasi untuk mengakses keadilan ini," pungkasnya.
Editor : Pahlevi