Optika.id - Beberapa waktu yang lalu, netizen dibuat geram dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh seorang dokter oleh suaminya yang pengangguran. Dokter tersebut kabur dari rumah dan meminta perlindungan kepada pihak yang berwenang.
Berdasarkan kasus tersebut, Indonesia memang mengalami ancaman serius KDRT terhadap perempuan. Pasalnya, 90ri total kasus kekerasan di ranah privat berdasarkan data Komnas Perempuan adalah KDRT. Data dari Komnas Perempuan itu pun diperkuat dengan data dari Kementerian PPPA yang mana sepanjang Januari Juni tahun 2023, terjadi sebanyak 7.649 kasus KDRT.
Baca Juga: Benarkah KDRT Bisa Diwariskan?
Menanggapi tingginya kasus KDRT di Indonesia, Perempuan Mahardhika, bersama dengan JALA PRT, Forum Pengada Layanan dan Konde.co menilai bahwa maraknya kasus KDRT ini dipicu oleh pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT atau UU PKDRT masih belum efektif sejak disahkan 19 tahun yang lalu. Akibat dari ketidakefektifan tersebut adalah ada beberapa hambatan dalam pengimplementasian penyelesaian kasus KDRT, salah satunya perwakilan harus tercatat di otoritas resmi terkait.
"UU PKDRT sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Catatan Sipil. Persoalan selanjutnya, adalah kurangnya kebijakan operasional dalam UU sehingga pada saat ini masih terdapat perbedaan tafsir pada aparat penegak hukum mengenai kasus penelantaraan rumah tangga dan perintah pelindungan yang susah sekali didapatkan oleh korban." tulis Perempuan Mahardika dkk dalam keterangannya, dikutip Optika.id, Selasa (21/11/2023).
Tak hanya itu, proses pembuktian pun tak kalah pelik. Dalam pembuktian kasus KDRT di tingkat kepolisian, keharusan untuk adanya 1 orang saksi ditambah dengan 1 alat bukti masih menjadi kendala yang utama. Selain itu, kriminalisasi korban KDRT juga kerap terjadi yang mana ketika istri dilaporkan, proses hukumnya selalu lebih cepat dibandingkan ketika dia melapor sebagai korban.
Hal tersebut terjadi karena aparat penegak hukum dan budaya hukum di Indonesia masih belum sensitive gender. Alhasil, imbasnya yakni proses penegakan dan penyelesaian kasus KDRT pun tidak berorientasi pada pemenuhan hak korban.
Di satu sisi, keluarga, tempat kerja dan lingkungan terdekat pun tak memberikan dukungan yang maksimal sehingga korban merasa sendirian dalam menanggung kasusnya. Hal itu diperparah dengan stigma sosial sehingga tak jarang korban mencabut laporannya tadi.
Adapun alasan lain mengapa kasus KDRT ini pelik untuk diselesaikan menurut studi dari Perempuan Mahardhika yakni pertama, sulitnya korban melepaskan diri dari KDRT sehingga bertahan dalam KDRT dengan alasan ketikdaktahuan tentang UU PKDRT sehingga korban tak berani melapor lantaran masih kuatnya perspektif suami adalah kepala keluarga serta minimnya dukungan terhadap korban.
Kedua, KDRT berdampak pada pekerjaan seperti mengalami kecelakaan kerja, produktivitas menurun, hilangnya kemampuan kerja, hilangnya konsentrasi kerja, bahkan sampai kehilangan pekerjaan. Perusahaan tempat para korban bekerja pun tidak memberikan dukungan.
PRT rentan Jadi Korban KDRT
Tak hanya perempuan yang menjadi istri saja yang mengalami KDRT, pekerja rumah tangga (PRT) pun rentan menjadi korban dalam kasus KDRT.
Baca Juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?
Berdasarkan data dari JALA PRT, sepanjang tahun 2018 2023 telah terjadi sebanyak 2.641 kasus kekerasan baik psikis, fisik maupun ekonomi yang menimpa PRT. Kekerasan tersebut mencakup upah tidak dibayar, dipecat atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja, tak bisa mengklaim jaminan kesehatan saat sakit, tak ada kenaikan upah kendati telah bekerja selama bertahun-tahun, dan tak mendapatkan pesangon.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Posisi PRT dalam KDRT inipun lemah karena nihilnya jaminan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Padahal, UU PKDRT jelas-jelas memuat PRT sebagai salah satu subjek hukum selain ayah, ibum anak, nenek, kaker dan saudara lantaran berada dalam rumah tersebut.
Kasus kekerasan terhadap KDRT pun tak mendapatkan tempat di mata publik dan aparat hukum karena kerap mengecualikan kasus tersebut. Akibatnya, kesadaran masyarakat terhadap kekerasan itu tak terbangun. Hal ini ditunjukkan dengan total 15% pelaku dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap PRT yang mendapatkan hukuman sesuai dengan UU PKDRT. Sisanya pelaku hanya dihukum ringan bahkan bebas.
Maka dari itu, Perempuan Mahardika dan kawan-kawan meminta pemerintah agar memberikan atensi khusus atas maraknya kasus KDRT. Mereka merekomendasikan beberapa hal yang direkomendasikan untuk segera dikerjakan negara.
Pertama, negara wajib menyosialisasikan serta memberikan informasi tentang KDRT dan UU PKDRT mengingat lemahnya pengetahuan masyarakat untuk mencegah dan melindungi korban.
Baca Juga: Kekerasan Tak Buat Anak Jadi Penurut dan Disiplin
Kedua, harus ada integrase antar kementerian/lembaga terkait seperti Kementeriaan PPPA, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kemenkumham, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), rumah sakit dan kepolisian dalam satu jaringan kerja untuk pencegahan dan perlindungan.
Ketiga, memastikan agar aparat penegak hukum, mulai dari struktur paling bawah, menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam menangangi kasus-kasus serupa.
Keempat, pemerintah harus memasukkan KDRT dalam skema perlindungan buruh perempuan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Dan terakhir, menyegerakan pengesahan RUU PPRT agar PRT mendapatkan perlindungan secara menyeluruh.
Lebih lanjut, Perempuan Mahardika juga mengajak agar media massa turut berperan aktif dalam mengampanyekan gerakan stop KDRT. Pasalnya, media mempunyai peran signifikan dalam mendorong perubahan kebijakan secara cepat dan menggugah kesadaran publik. di sisi lain, masyarakat juga diharapkan memanfaatkan media sosial sehingga secara tak langsung menstimulus para korban agar berani bersuara.
"Kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi, lebih-lebih pada korban, menjadi bagian penting dari perjuangan untuk setop KDRT," jelasnya.
Editor : Pahlevi