Optika.id - Jumlah kandidat anggota legislatif (caleg) perempuan yang tidak mencapai 30 persen dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI tahun 2024 disoroti sebagai kelemahan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), menurut pandangan mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Wahidah Suaib.
Menurut Wahidah, KPU tampaknya tunduk kepada keinginan partai politik dalam hal penyusunan calon anggota DPR RI 2024.
Baca juga: Perpanjang Rekapitulasi, KPU Surabaya Ajukan Rekomendasi ke Bawaslu
"KPU kali ini bukan hanya kurang tegas, tetapi sangat tidak tegas, dan terlihat seperti menjadi alat partai menurut kami," ujar Wahidah setelah mengikuti sidang terkait dugaan pelanggaran administrasi KPU di Kantor Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (21/11/2023).
Dia menegaskan bahwa Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan telah melakukan serangkaian proses hukum untuk menentang keputusan KPU RI yang dinilai merendahkan partisipasi perempuan dalam proses pemilihan umum.
Baca juga: Bawaslu Tangani 46 Kasus Dugaan Pelanggaran Pidana Pemilu 2024
Menurutnya, Peraturan KPU (PKPU) 10/2023 menetapkan metode penghitungan keterwakilan caleg perempuan sebagai pembulatan ke bawah, bukan ke atas. Hal ini menyebabkan banyak bakal caleg perempuan yang gagal masuk DCT.
"Seharusnya KPU pada periode ini akan lebih aktif mendorong partai politik untuk memenuhi 30 persen itu. Tetapi tampaknya semangat komitmen 30 persen keterwakilan caleg perempuan di KPU menurun," ujarnya.
Baca juga: Pemungutan Suara Ulang Pemilu 2024, Ini Dampaknya
Wahidah juga mengingat kebijakan KPU di periode sebelumnya, yang cenderung mendukung keterwakilan perempuan sebagai caleg dengan menerapkan metode pembulatan ke atas.
"Kebijakan tersebut telah berlaku selama 20 tahun, dan dulunya adalah 'memerhatikan' (keterwakilan perempuan dalam UU 12/2003 tentang Pemilu). Sekarang (UU 7/2017 tentang Pemilu) menggunakan kata 'memuat', yang mengisyaratkan kekuatan yang lebih besar," tambah Wahidah.
Editor : Pahlevi