Pandemi dan Rasa Kesepian yang Mengancam Umat Manusia

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kesepian sudah mulai masuk sebagai ancaman kesehatan dunia yang mendesak. Awal mula dari masalah kesepian ini adalah pasca pandemi Covid-19 yang menghentikan segala aktivitas baik sosial maupun ekonomi. Parahnya, dampak kematian yang diam-diam diakibatkan oleh kesepian ini disebut-sebut setara dengan merokok 15 batang sehari.

Psikolog anak, remaja dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan tak mengelak bahwa saat ini kesepian memang menjadi problem utama. Sebab, orang yang mengalami kesepian dampaknya cukup serius.

Baca juga: Ini Daftar Bisnis Gibran Cawapres Prabowo yang Gulung Tikar

 Selain dia merasakan stres dan depresi, tentunya juga berakibat pada fungsi-fungsi dari fisiologisnya, kata Sani, kepada Optika.id, Senin (27/11/2023)

Sani menyebut bahwa orang yang kesepian sebenarnya tidak benar-benar jauh dari interaksi sosial, namun mereka merasa kesepian lantaran kehampaan pada diirnya. Penyebabnya, menurut Sani, bisa karena tidak begitu mengenal dirinya atau pernah memiliki riwayat trauma, merasa insecure, atau tak percaya diri dalam lingkungan sosial.

Hal tersebut diperparah dengan pandemi Covid-19 yang membuat keterampilan sosial menurun. Maka dari itu, setelah pandemic dinyatakan usai, orang harus kembali membangun dan menata keterampilan sosialnya. Maka dari itu, ada orang yang bisa beradaptasi dengan cepat pasca Covid-19, dan ada yang tidak bisa beradaptasi setelahnya.

Orang yang sulit beradaptasi setelah Covid-19 itu akan merasakan perbedaan dengan orang lain, dan akhirnya merasa kesepian, imbuhnya.

Sani mengamati bahwa kesepian mulai merebak di Indonesia usai pandemic. Sebabnya, yang menentukan seseorang bisa bertahan atau tidak adalah keterampilan seseorang dengan situasi yang sudah berbeda dari yang normal biasanya.

Kendati demikian, Sani menjelaskan bahwa masalah kesepian di Indonesia usai pandemic tidak meluas karena pada dasarnya kesepian sifatnya individual.

Di Indonesia dengan kultur ketimuran, keluarga yang besar, saling menyapa, berbeda dengan Barat yang individualistic. Maka kesepian di Indonesia mungkin bisa ditanggulangi lebih cepat atau lebih baik dibandingkan negara-negara di Barat yang kuluturnya memang individualistik, ucap Sani.

Sani menegaskan, untuk mengatasi kesepian yang utama harus memahami serta mengenal diri sendiri.

Dia tahu apa yang salah dengan dirinya, dan dia bisa mencari jalan keluarnya. Self-awareness itu sangat penting karena kalau tidak, maka coping mechanisme yang dilakukan juga tidak akan efektif. ungkapnya.

Ia menyarankan agar latihan berada dengan orang terdekat, lalu berbicara. Kemudian, mulai ke ruang publik.

Karena kesepian, dia tidak merasa terisi atau hampa, perlu juga mencari hobi, kegiatan yang disukai, (misalnya) mendengarkan musik berolahraga, dan tentunya berpikir positif terhadap dirinya sendiri, tutur Sani.

Perihal kesepian, fakta menarik ditemukan oleh peneliti dari Universitas Negeri Padang, yakni Afdal, Miftahul Fikri, Mudjiran dan Herman Nirwana yang tertuang dalam riset mereka bertajuk An exploration of the loneliness experienced by indonesian students during the Covid-19 pandemic yang terbit di The International Journal of Counseling and Education.

Baca juga: Siaga Hadapi Ancaman Pandemi di Masa Depan

Dalam penelitian itu, mereka melakukan survei terhadap total 504 responden Indonesia yang berusia 12 hingga 27 tahun dari beberapa provinsi. Fokus penelitiannya adalah untuk menemukan dampak pandemi terhadap tingkat kesepian pada mahasiswa.

Berdasarkan analisis data, 42,91% partisipan mengalami kesepian dalam kategori sedang, 33,73% kategori tinggi, dan 3,17% kategori rendah. Selain itu, mahasiswa di Indonesia, terutama Sumatera, lebih mungkin mengalami perasaan (kesepian) ini selama pandemi dan merasa bosan dengna aktivitas di rumah, tulis Afdal dkk dalam penelitiannya, dikutip Optika.id, Selasa (28/11/2023)

Selain itu, ada perbedaan yang cukup signifikan antara gejala kesepian yang dialami oleh perempuan dan laki-laki. Pada umumnya, perempuan mengalami perasaan kesepian secara lebih intens.

Secara umum, individu yang berusia antara 20 hingga 23 tahun lebih mungkin mengalami kesepian, menunjukkan bahwa mahasiswa pada tahap akhir perkembangan remaja dan mendekati dewasa lebih sering mengalami perasaan ini selama pandemi, ujar Afdal dkk.

Lebih lanjut, penelitian terkait pandemic dan kesepian dengan survei terbesar dilakukan oleh Roger OSullivan bersama dengan 16 peneliti bidang kesehatan dan sosial lainnya dari Irlandia, Inggris, Kanada, Finlandia, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Meksiko.

Penelitian yang mereka lakukan bertajuk Impact of the COVID-19 pandemic on loneliness and social isolation: A multi-country study dan terbit di International Journal of Environmental Research and Public Health.

Para peneliti tersebut melakukan surveinya di lintas negara dengan total responden lebih dari 20.000 yang berusia 18 tahun ke atas dengan 101 negara dan 10 bahasa. Adapun sampel analisis riset yang dilakukan ini sebanyak9.618-10.485 responden dari setidaknya 70 negara.

Baca juga: Kesenjangan Belajar Siswa Indonesia Diakibatkan Kerentanan Berlapis, Apa Solusinya?

Hasilnya, mereka menemukan peningkatan lebih dari tiga kali lipat laporan kesepian parah peserta dari keadaan sebelum pandemi yang dirasakan.

Orang yang tinggal sendirian atas pilihan sendiri terkait dengan peningkatan kesepian sebesar 61%, tetapi bagi mereka yang tinggal sendirian bukan atas pilihan meningkat hampir tujuh kali lipat, tulis OSullivan dkk.

Fakta lain yang mereka temukan adalah orang tua sebelum pandemi cenderung jauh lebih sedikit merasa kesepian dengan penurunan risiko terbesar di kalangan mereka yang berusia 70 tahun ke atas yang mungkin disebabkan oleh penurunan kebutuhan atau harapan sosial seiring dengan bertambahannya usia.

Temuan utama dari data adalah, keuangan pribadi dan kesehatan mental merupakan aspek yang secara konsisten memotong lintas kesepian dan isolasi sosial, baik sebelum maupun selama pandemi, memengaruhi kelompok paling rentan dan memperkuat ketidaksetaraan yang sudah ada, tulis para peneliti itu.

Sementara itu, dikutip dari Al Jazeera, Pendiri Foundation for Art & Healing sekaligus penulis buku berjudul Project UnLonely: Healing Our Crisis of Disconnection, Jeremy Nobel menyebut ada sisi positif dari pandemi. Pasalnya, selama ini dia mengamati kesepian seringkali disertai dengan rasa malu dan stigma yang menghalangi orang untuk mencari bantuan. Namun, selama pandemic rasa kesepian ada dimana-mana sehingga memungkinkan orang untuk mengutarakan maksudnya dengan lebih mudah karena tidak ada pilihan lain.

Kita memiliki pengalaman isolasi yang sama. Kita kesepian bersama-sama. Hal ini membuka peluang untuk membicarakan kesepian dengan cara yang sangat sehat. kata Nobel.

 

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru