Optika.id - Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pascasarjana Universitas Paramadina, Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa politik tukar menukar uang dalam pemilu ada peraturan mainnya. Istilah itu dikatakannya dalam sesi Diskusi Akhir Pekan bersama Forum Insan Cita melalui channel YouTube, Minggu, (10/12/2023).
Ada banyak jenis pertukaran uang, jasa atau keuntungan material, atau dikenal dengan jenis pork barrel politics. Biasanya dengan memanfaatkan kepentingan pemerintah dan DPR dalam rangka memastikan calon petahana unggul kembali. Burhan berfokus pada Clientelism, yaitu adanya vote buying, turn out buying dan club goods.
Baca juga: Hasto Khawatir Kekuasaan Menyandera Parpol: Bisa Terjadi Arus Balik
"Meskipun tentu saja semua tidak menjadi bagian dari politik uang, money politics itu luas. Programmatic bisa disebut dengan praktik jika BLT, Bansos itu ada unsur jika dikatakan sebagai politik money. Pertama, jika menjelang pemilu pembagiannya, untuk tujuan elektoral, bisa dikatakan sebagai money politics. Penting untuk meletakkan juga, tipe seperti apa yang ingin ditarget," ujar Burhanuddin Muhtadi kepada Optika.id, Minggu, (10/12/2023).
Perlu diketahui, Politik uang di Indonesia ini digunakan Burhan sebagai bahan penelitian disertasinya, sebanyak 28,6 persen dari 25,1 persen melalui hasil 33 persen dari responden keseluruhan. Estimasi politik uang di Indonesia itu cukup banyak. Sebanyak 1 dari 3 orang Indonesia pernah mendapatkan uang untuk condong ke salah satu calon.
"Jumlah ini, 2014 ada 187 juta, kurang lebih 62 juta pernah terlibat uang. Pada tahun 2019, jumlah pemilih jadi 192 juta, artinya 63,5 juta di pemilu terakhir pernah ditawari politik uang. Dalam kasus beberapa negara, menggunakan eksperimen kelima politik uang jauh lebih besar dibandingkan model pertanyaan secara langsung," jelasnya.
Baca juga: Survei Indikator Politik: 75,7 Persen Masyarakat Puas dengan Pemilu
Jika di banding negara lain, kata dia, Indonesia berada di nomor tiga dari sisi relatif 33 persen. Sedangkan dari sisi absolute atau angka 63,5 juta pemilih, Indonesia merupakan negara dengan korban paling besar se-dunia dalam hal politik uang.
"Jadi, 63,5 juta yang ditawari politik uang. Dan 2 kali lipat lebih dibanding rata-rata dunia yang hanya 14,2 persen yang menerima politik uang, secara global," rincinya.
Baca juga: Terungkap! Kubu yang Paling Banyak Menawarkan Serangan Fajar ke Pemilih: Paslon 2 dan 3
Berdasar penelitian yang dilakukan selama 13 bulan itu, kata Burhanuddin lagi, dirinya menemukan, praktik politik uang merupakan suatu hal yang tabu. Tapi ada tokoh masyarakat yang menganggap politik uang diperbolehkan.
"Jadi, kalau kita masuk dalam gelanggang kompetisi elektoral, tanpa melakukan itu, pasti kalah. Lha wong yang melakukan aja belum tentu menang, apalagi tidak. Bahasa-bahasa seperti itu sering saya dengar, termasuk di kalangan pemilih," pungkasnya.
Editor : Pahlevi