Survei: Partisan Penerima Politik Uang Lebih Besar dari Pemilih Mengambang

Reporter : Danny

Optika.id - Direktur Public Affairs pada Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi dalam surveinya berbicara secara terang benderang bahwa penerima politik uang semakin periode semakin naik. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbadingan penerima politik uang sebanyak 43n pemilih mengambang sebanyak 22%. 

Survei itu, dilakukan Burhan saat menyelesaikan studi S3 beberapa tahun lalu, secara absolut yang terima politik uang lebih banyak. Secara relatif pemilih partisan memang cenderung ditarget, namun pemilih mengambang justru malah mendapatkan politik uang. 

Baca juga: Hasto Khawatir Kekuasaan Menyandera Parpol: Bisa Terjadi Arus Balik

"Penerima tidak punya loyalitas apapun kepada caleg, dalam konteks Indonesia caleg berpikir sangat taktis, mereka memprioritaskan basis partai mereka masing-masing. Menarget pemilih partisan itu tidak cukup dan diperebutkan caleg dalam satu partai. Dalam sistem proporsional terbuka, caleg hanya mampu memilih partisan itu tidak ada nilainya, sebab yang diitung adalah suara," tegas Burhan kepada Optika.id, Minggu, (10/12/2023). 

Termasuk, misalnya ada caleg yang memberikan bantuan Desa kemudian dianggap sebagai membangun jaringan sosial. Caleg juga membentuk sistem tim sukses partai, sehingga nanti akan mengklaim sebagai basis. Itulah disebut professional loyalis. 

"Karena sangat lunak yang disebut dengan istilah partisan dipersonalisasi tadi, miss targeting, sangat banyak sekali saya temukan. Caleg ambigu dalam memutuskan mana pemilih partisan mana pemilih non partisan. Setelahnya muncul agency loss, masing-masing punya kepentingan, calegnya mendistribusikan uang, sementara tim sukses punya kepentingan untuk menilap uang," tegasnya. 

Baca juga: Survei Indikator Politik: 75,7 Persen Masyarakat Puas dengan Pemilu

Burhanuddin menemukan, pengakuan bahwa mereka menduakan caleg, bekerja dengan caleg yang berbeda-beda. Satu orang bekerja untuk berbeda caleg, disebut dengan istilah potential defection. Kemudian ada koordinator dapil, kecamatan, kelurahan desa sampai bawah terakhir yaitu TPS. 

"Tim sukses seringkali melebih-lebihkan dalam rangka menipu si Caleg, mereka pakai istilah bahasa inggris, by name by addres. Mereka menulis nama-nama secara potensial memilih sang caleg. Semakin banyak uang dikucurkan oleh Caleg, apakah itu betul potensial memilih caleg meskipun banyak enggaknya," terang Pengamat asal UIN Syarif Hidayatullah itu. 

Baca juga: Terungkap! Kubu yang Paling Banyak Menawarkan Serangan Fajar ke Pemilih: Paslon 2 dan 3

Tidak hanya itu, semua tim sukses juga memilah nama yang sudah meninggal, untuk meminta dana lokasi lebih besar dari Caleg. Mereka pada dasarnya tahu politik uang tidak efisien. Dengan bahasa survei, margin error. Kalau menargetkan 100 suara serta minimal amplop dibagi lebih banyak. 

"Wajar toh kita melakukan itu, politisi makhluk pada orang-orang, pasti ada banyak alasan bahwa praktik ini efisien, pertanyaan why do political interest. Mengapa mereka tahu bahwa ini rawan kebocoran, untuk menjawab itu saya menjawab soal mobilisasi. Melahirkan efek sesama rektor," pungkasnya. 

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru