Optika.id - Pertanyaan yang diajukan cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka kepada cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar terkait dengan SGIE dan kepada cawapres nomor urut 3 Mahmud MD soal carbon capture and storage dalam debat cawapres Jumat malam lalu terus menuai sorotan dari publik terutama para akademisi.
Karena Gibran mengajukan pertanyaan dengan istilah yang tidak familiar bagi publik. Mestinya dia membuat pertanyaan dengan jelas termasuk meng-clear-kan istilah-istilah yang ia sampaikan terlebih dahulu.
Baca juga: Anang Sujoko: Prabowo Subianto Dapat Sentimental Negatif di Debat Ketiga
Seorang penanya yang bagus itu kan mestinya dia melontarkan term-term yang sangat mudah dipahami oleh khalayaknya. Sehingga ketika ada sebuah term yang tidak dipahami, itu sebetulnya bukan salah dari orang yang ditanya, tetapi yang salah adalah yang bertanya, jelas Guru Besar Kajian Media dan Komunikasi dari Universitas Brawijaya, Prof. Anang Sujoko, dalam diskusi Plus Minus Debat Cawapres yang disiarkan live kanal YouTube @Forum INSAN CITA Minggu malam, (24/12/2023).
Apalagi, lanjutnya, perdebatan seharusnya dimaksudkan untuk menggali sebuah wawasan, strategi, kebijakan. Terlebih debat cawapres. Seharusnya ketika perdebatan dalam level cawapres itu bukan lagi berbicara yang sangat teknis. Tetapi bicara pada hal-hal yang sifatnya manajerial, leadership dan macam-macam, ujarnya.
Karena itu dia menegaskan pertanyaan yang diajukan Wali Kota Solo itu dengan berbagai terminologi yang belum akrab bagi publik dimaksudkan untuk menjebak, menjatuhkan lawan, sekaligus untuk melakukan pencitraan. Apalagi Gibran ingin menepis berbagai tuduhan yang selama ini dilekatkan kepadanya.
Baca juga: Anies Baswedan Serang Prabowo di Debat Ketiga, Strategi yang Masuk Akal!
Sekali lagi saya tekankan bahwa retorika penggunaan terminologi oleh Gibran itu sebetulnya kalau kita kritisi, Gibran itu sedang membangun eksistensinya untuk diakui sebagai orang yang cerdas. Tim suksesnya itu sedang ingin membangun bahwa Gibran itu tidak seperti yang di-frame oleh media, tidak sesuai dengan selama yang ini dikonstruksi oleh publik, bahwa dia bukan lagi (seperti) dikatakan samsul, belimbing sayur atau apa, yang itu kesannya rendah, bebernya.
Nah, penggunaan terminologi-terminologi yang kesannya canggih, ini sebetulnya adalah tidak lebih dari upaya membuat cawapres nomor 2 itu nampak pintar, nampak smart dan itu yang menyusun adalah tim suksesnya, imbuhnya.
Namun imbuhnya dalam disksusi mingguan yang digelar Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita Alumni HMI ini, Gibran tak bisa menutupi kelemahannya. Ada keterbatasan pengetahuan atau ada keterbatasan skill dalam menyusun kalimat, ucapnya.
Baca juga: Tanggapi Debat Ketiga, Anang Sujoko: KPU Tak Menghormati Ilmuwan dan Tak Konsisten
Bahkan Prof. Anang menilai putra Presiden Joko Widodo itu sendiri dinilai tidak paham dengan apa yang ditanyakannya. Dalam konteks SGIE misalnya, kalau Gibran paham apa maksudnya, mestinya melontarkan dengan Bahasa Inggris es ji ai i bukan es ge i e. Mengingat, SGIE itu singkatan dari istilah dalam bahasa Inggris, yaitu State of Global Islamic Economy (SGIE).
Menurutnya hal inilah yang tidak disadari oleh Gibran bahwa ada kelemahannya yang tidak bisa ditutupi dengan pencitraan sehingga publik tetap mengetahui. Sekali lagi bahwa ketika tipu daya itu dilakukan, selalu ada celah yang itu dia tidak sangka akan diketahui oleh publik, demikian Prof. Anang Sujoko.
Editor : Pahlevi