Optika.id - Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira merinci program-program bermasalah dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu yang paling dia sorot adalah kegagalan food estate. Program food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi yang berbasis holtikultura, peternakan, perkebunan, dan tanaman pangan di suatu kawasan.
Program ini diklaim sebagai salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020 2024 yang digadang-gadang sebagai program super prioritas untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan. Akan tetapi, Bhima menyebut jika program ini justru memicu deforestasi secara masif, namun tidak memiliki korelasi dengan meningkatnya produksi pangan itu sendiri.
Baca juga: Dagelan Kabinet Prabowo: Bau Jokowi dan Kaesang
Pasalnya, di akhir pemerintahan Jokowi, impor bahan pangan khususnya beras justru naik makin tajam. Sepanjang tahun 2023, ujar Bhima, pemerintah tercatat sudah mengimpor beras mencapai 1,79 juta ton. Impor beras ini mencakup impor beras jenis khusus, premium, medium, konsumsi hingga beras pecah.
Kegagalan mengatasi masalah pangan jadi rapor merah Jokowi, belum termasuk menteri pertanian yang ditangkap KPK karena korupsi," ucap Bhima dalam keterangannya, dikutip Optika.id, Jumat (29/12/2023).
Kedua adalah program jalan Tol Trans Sumatera. Pembangunan jalan tol tersebut menurut Bhima masih belum mampu menurunkan biaya logistic. Paslanya, berdasarkan fakta, indeks logistic justu anjlok 17 peringkat ketika pembangunan massif jalan tol digencarkan.
Tak hanya itu, hadirnya Undang-Undang Omnibus Law Perpajakan yang lamban diimplementasikan, utamanya untuk pajak karbon, sampai saat ini pun masih mangkrak.
Untuk diketahui, berdasarkan laporan dari Bank Dunia, Indonesia masih meraih skor indeks performa logistic (LPI) sebesar 3 poin dari skala 0-5 pada 2023. Nilai tersebut turun sebesar 4,76% dibandingkan pada tahun 2018 yang sebesar 3,15 poin.
Alhasil, skor LPI tersebut menempatkan Indonesia di peringkat ke-63 dari 139 negara. Peringkat ini pun juga terjun bebas dibandingkan pada tahun 2018 yang berada di urutan 46 dari 160 negara. Adapun skor LPI dihitung beradasarkan enam dimensi yakni infrastruktur, bea cukai, kualitas dan kompetensi logistic, pengiriman internasional, pelacakan dan penelusuran barang serta ketepatan waktu.
Indonesia secara rinci juga memperoleh skor sebesar 2,8 poin untuk dimensi bea cukai pada tahun 2023. Sementara itu, dimensi infrastruktur dan pengiriman internasional masing-masing mendapatkan poin 2,9 dan 3 poin.
Baca juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo
Di saat yang sama BUNN karya alami tekanan finansial atau financial distress karena penugasan jalan tol. Tarif yang mahal juga sebabkan utilitas jalan tol rendah," kata Bhima.
Program bermasalah selanjutnya menurut Bhima adalah proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) dan rencana pelebaran jalur hingga ke Surabaya. Menurut Bhima, proyek kereta cepat ini masih sulit menutup biaya utang dan bunganya namun sudah diminta rencana pembangunan sampai ke Surabaya.
Adapun kenaikan biaya atau cost overrun dari proyek KCJB sendiri bernilai 1,2 miliar dolar AS atau setara dengan Rp18 triliun. China awalnya mengajukan biaya pembangunan proyek KCJB senilai 5,5 milar dollar AS atau setara dengan Rp83,6 triliun. Akan tetapi, dalam perjalannya biaya proyek KCJB membengkak hingga 7,5 miliar alias Rp114,1 triliun.
Kebutuhan impor besi baja, teknologi dan tenaga kerja pada proyek kereta cepat yang tinggi menyebabkan transaksi berjalan tertekan dan pelemahan kurs rupiah, tuturnya.
Baca juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Program lain yang bermasalah dan menjadi salah satu program prioritas Jokowi-Maruf adalah reforma agraria. Program reforma agrarian ini juga termasuk ke dalam program nasional. Akan tetapi, menurut Bhima program ini masih jauh dari kata ideal yang seharusnya dimulai dari pembagian HGU perusahaan perkebunan besar kepada petani itu sendiri.
Tapi upaya pemerintah masih dominan bagi bagi sertifikat lahan, ujar dia.
Program terakhir yang bermasalah adalah reformasi perpajakan. Pasca pandemic, rasio pajak tidak bergerak hingga di level 10%. Adapun salah satu penyebabnya adalah kegagalan tax amnesty. Pasalnya, tax amnesty ini hanya mampu menaikkan penerimaan pajak jangka pendek saja. Selain itu, rasio pajak rendah diakibatkan oleh belanja pajak yang masih belum tepat sasaran.
Hadirnya Undang-Undang Omnibus Law Perpajakan (UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan) lambat diimplementasikan terutama pajak karbon yang sampai saat ini mangkrak, jelas Bhima.
Editor : Pahlevi